Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan stunting dan Tuberkulosis (TBC) tidak hanya terjadi di daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan.

“Dua-duanya ini berada dalam kategori tertentu, biasanya di lingkungan yang kumuh atau kantong-kantong kemiskinan. Akan tetapi, tidak selalu terjadi seperti itu, ada faktor-faktor di luar kekumuhan yang bisa menjadi penyebab stunting maupun TBC,” kata Muhadjir dalam keterangannya yang di terima di Jakarta, Rabu.

Salah satu yang dituding menjadi penyebab lahirnya generasi stunting, tutur mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,  kurangnya pengetahuan remaja, khususnya remaja putri mengenai bahaya diet ekstrem.

Baca juga: Menko PMK khawatirkan tingginya kasus TBC berisiko tulari anak-anak

Baca juga: Menko PMK: Menyelesaikan TBC di Indonesia butuh konsentrasi tinggi


Diet yang dijalani tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan biasanya akan menyebabkan seseorang menderita anemia. Remaja putri yang menderita anemia sangat berisiko, terutama jika kelak mengandung buah hati calon generasi penerus bangsa.

“Walaupun dia bukan dari keluarga tidak mampu atau miskin, bahkan dari keluarga mampu, tapi karena masa remajanya kurang paham, kurang mendapatkan informasi yang cukup tentang bagaimana diet yang baik, maka terjadi lah stunting,” ucap Menko PMK.

Demikian halnya dengan TBC yang tidak melulu terjadi pada seseorang dengan latar belakang keluarga kurang mampu. Yang terpenting adalah bekal pengetahuan dan pemahaman yang tepat tentang pentingnya mencegah stunting maupun TBC sejak dini kepada masyarakat.

“Dukungan dari pemerintah daerah juga sangat penting. Strategi yang dilakukan harus melibatkan semua pihak, apalagi saat ini kita masih dihadapkan pada masalah pandemi COVID-19 yang menyedot perhatian kita semua,” kata Muhadjir.

Stunting dan TBC menjadi dua permasalahan serius bidang kesehatan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Presiden Jokowi menargetkan penurunan stunting bisa mencapai angka 14 persen pada tahun 2024 dan eliminasi TBC diharapkan terjadi pada tahun 2030.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyelenggarakan sosialisasi Peraturan Presiden No. 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dan Peraturan Presiden No. 68/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis kepada seluruh Biro Kesejahteraan Rakyat Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Lebih lanjut, Muhadjir menjelaskan sosialisasi itu sebagai upaya mendukung komitmen Presiden Jokowi untuk mempercepat penurunan angka stunting dan memperkuat penanggulangan TBC sebagaimana tertuang dalam kedua perpres tersebut.

“Saya pikir sangat bijak bapak Presiden menurunkan dua perpres itu secara berbarengan dan saat peringatan HUT ke-76 Kemerdekaan RI Agustus lalu. Kita memang harus betul-betul memberi perhatian terhadap dua isu besar yang bisa berpengaruh terhadap kinerja dari SDM kita ke depannya,” ujar Menko PMK.

Baca juga: BKKBN menggerakkan mahasiswa untuk mendukung penurunan kasus stunting

Baca juga: Menko PMK: Tiga provinsi diprediksi alami kenaikan angka stunting


Data Litbang Kemenkes menyebut angka stunting tahun 2020 sebesar 26,92 persen. Sementara Notifikasi kasus TBC mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2017 dengan perkiraan 33 persen kasus masih belum terlaporkan dan angka keberhasilan pengobatan masih berada di angka 83 persen, serta terdapat 11.463 kasus TBC resisten obat (TBC-RO).

Sesuai amanat Perpres, Presiden telah menunjuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana dan penanggung jawab percepatan penurunan stunting. Sedangkan untuk penanggulangan TBC ditunjuk sebagai penanggungjawab adalah Kementerian Kesehatan.

BKKBN dan Kemenkes keduanya berada di bawah koordinasi Kemenko PMK.

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021