Dari Pamekasan

Karena PON VII berlangsung di Surabaya pada 1969, maka ditetapkan api PON diambil langsung dari satu titik di Jawa Timur di Desa Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, Pulau Madura. Di sana, ada api yang terus menyala secara natural.

Konsep pengambilan api PON itu berbeda dari Olimpiade. Dalam Olimpiade, api selalu datang dari sinar matahari yang dipantulkan ke sebuah lensa di Olimpia, Yunani, tempat Olimpiade kuno digelar lebih dari 2.700 tahun lalu.

Dari Olimpia, api dengan obornya disalurkan ke negara tuan rumah.

Namun, pemindahan obor Olimpiade secara estafet (torch relay) atau bergantian baru dikenal pada 1936 saat Olimpiade musim panas di Berlin.

Sorip Harahap mencatat, pada PON VII api dibawa berlari sejauh 97 kilometer dari Pamekasan ke Bangkalan, lalu Surabaya. Total, api dibawa selama satu hari delapan jam. Api ini diterima oleh setiap bupati, wali kota wilayah yang disinggahi.

Sama seperti sekarang, obor pun sudah dibawa oleh atlet yang dianggap berjasa. Pada PON 1969, atlet tersebut adalah J. H. Serhalawan dari Jawa Timur.

Akan tetapi, dalam PON VIII pada 1973 dan PON IX 1977 di Jakarta, Panitia PON justru beralih kepada cara Olimpiade: menggunakan sinar matahari. Api ini diambil di kawasan Monumen Nasional.

Baca juga: Pengunjung pembukaan PON Papua terus berdatangan hingga malam

Pelari Suwatini Elias Margio mendapat kehormatan membawa obor PON 1973 dan Jopi Timisela menjadi penyulut api kaldron, sementara pada 1977 perenang Achmad Dimyati dan pemain anggar Zus Undap bersama Mohammad Sarengat dan Minarni Sudaryanto menjadi penyala kaldron.

Dalam PON X pada 1981 yang juga diadakan di Jakarta, api PON beralih lagi ke alam yang kala itu didapatkan dari Desa Manggarmas, Grobogan, Jawa Tengah. Api ini dikenal sebagai Api Abadi Mrapen.

Pemilihan api Mrapen ini amat bersejarah lantaran api tersebut juga digunakan untuk menyalakan obor Pesta Olahraga Negara-negara Kekuatan Baru (Games of the New Emerging Forces/Ganefo) di Jakarta pada 10-22 November 1963.

Perjalanan api PON dari Manggarmas ke Jakarta sejauh 1.403 kilometer memakan waktu 11 hari. Api ini dibawa secara estafet melewati Semarang, Demak, Kudus, Madiun, Ngawi, Sragen dan Solo.

Di Solo, api diinapkan selama semalam sebagai penghormatan kepada kota penyelenggara PON yang pertama. Setelah itu, gerak api berlanjut ke daerah-daerah seperti Klaten, Yogyakarta, Bantul, Ciamis, Bogor dan tiba Jakarta.

Pada PON 1981, api PON dibawa dan dinyalakan di kaldron oleh atlet lompat jangkit putra nasional Awang Papilaya.

Dalam prosesnya, sumber api PON tidak terpaku ke satu dua tempat.

Baca juga: Jumlah atlet dalam defile kontingen PON Papua dibatasi

Pada PON 2000 di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, api diambil dari api abadi Kayangan Api di Bojonegoro.

Lalu dalam PON XVII pada 2008 di Samarinda, Kalimantan Timur, api didapatkan dari Api Abadi Sungai Siring, Samarinda Utara, Samarinda.

Saat PON XX Papua, 2-15 Oktober 2021, api PON berasal dari daerah Klamono, Sorong. Wilayah ini dipilih karena menjadi lokasi pertama kali minyak dan gas bumi di Tanah Papua ditemukan pada 1936.

Manusia sering kali membutuhkan simbol-simbol tertentu agar dapat termotivasi dan bergerak demi mencapai tujuan.

Api PON, api Olimpiade dan api-api lain secara sains mungkin hanyalah hasil dari proses pencampuran gas secara kimiawi.

Namun, di tangan kemanusiaan, api bisa berarti banyak hal. Bisa pemberi semangat, kehangatan dan, tentu saja, pendorong diri untuk menjadi lebih baik. Setiap hari.

Baca juga: Warga antusiastis tunggu pesta kembang api pembukaan PON Papua

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2021