Mimika (ANTARA) - Ketika Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua dibuka 2 Oktober 2021, nyala api PON mulai menerangi Stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura.

Banyak yang menganggap api tersebut simbol semangat atlet dan kehangatan tuan rumah dalam menyambut kontingen-kontingen yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Sebelum sampai lokasi pembukaan PON, api yang menyala selama PON itu diarak melewati berbagai tempat. Khusus PON Papua, daerah yang disambangi erat kaitannya dengan wilayah adat suku-suku di provinsi ini.

Pelaksanaan PON memang identik dengan api dan obor yang membawanya, namun perlu diketahui seremoni api tersebut baru diadakan pada 1969 atau mulai PON ketujuh di Surabaya, Jawa Timur.

Indonesia belum mengenal istilah kirab api PON saat PON pertama kali digelar di Solo pada 8-12 September.

Saat pertama kali dilangsungkan, simbol persatuan yang dibawa berkeliling menuju tempat pembukaan PON adalah bendera PON.

Beberapa hari sebelum PON pertama di Solo, pada September 1948, bendera PON, yang ketika itu masih berlambang lima lingkaran Olimpiade dengan obor di tengah, diberangkatkan dari Istana Kepresidenan di Yogyakarta.

Bendera itu diserahkan langsung oleh Presiden Sukarno kepada ketua kirab bendera PON, Juwadi.  Sorip Harahap, dalam bukunya "PON I-X" terbitan KONI Pusat (1985), menyebut proses mengantar bendera itu ke Solo berlangsung menegangkan dan penuh waspada.

Baca juga: Presiden Jokowi menghadiri pembukaan PON XX Papua

Bendera itu berpindah-pindah bersama rakyat yang berjalan kaki secara bergantian. Perjalanan dibatasi tak lebih dari pukul delapan malam demi keselamatan pembawa bendera.

Meski semua dilakukan dengan sangat hati-hati dan dalam kondisi rawan, masyarakat di wilayah yang dilewati bendera ini menyambut kirab tersebut dengan meriah.

Akhirnya, bendera itu sampai di Stadion Wedari, Solo, yang menjadi lokasi pembukaan PON I. Mengingat sulitnya kondisi Indonesia kala itu, termasuk jerih payah membawa bendera tersebut dari Yogyakarta ke Solo, upacara pengibaran bendera PON I berlangsung dengan sangat khidmat.

Indonesia yang baru berumur tiga tahun, ternyata bisa menyelenggarakan pesta olahraganya sendiri, dengan keringatnya sendiri.

Kirab bendera PON berlanjut ke PON Kedua pada 21-28 Oktober 1951 yang menempuh rute dari Solo ke lokasi penyelenggara, Jakarta Raya yang kini bernama DKI Jakarta.

Namun, yang berbeda, selain bendera PON I, ada juga bendera baru yang diperkenalkan untuk PON II yaitu bendera bergambar sayap Garuda, tiga lingkaran dan api merah menyala. Bendera anyar itulah yang menjadi bendera PON yang dikenal sekarang.

Arak-arakan bendera tetap dengan berjalan kaki demi menunjukkan keteguhan dan persatuan Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Kebiasaan mengirabkan bendera ini terus dilakukan sampai akhirnya diputuskan PON akan menggunakan api dalam acara kirab sebelum pembukaan, mulai dari PON VII di Surabaya pada 1969.

Bisa disebut pergantian tersebut tidak lepas dari berubahnya tujuan PON, dari awalnya sebagai sarana perjuangan demi menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat, menjadi wadah mencetak atlet-atlet berprestasi.

Kebijakan untuk menggunakan api mengikuti cara dalam Olimpiade sebagai lambang semangat atlet meraih pencapaian tertinggi.

Baca juga: Pembukaan PON Papua: hiasan kepala suku Dayak ramaikan parade atlet
 

Dari Pamekasan

Karena PON VII berlangsung di Surabaya pada 1969, maka ditetapkan api PON diambil langsung dari satu titik di Jawa Timur di Desa Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, Pulau Madura. Di sana, ada api yang terus menyala secara natural.

Konsep pengambilan api PON itu berbeda dari Olimpiade. Dalam Olimpiade, api selalu datang dari sinar matahari yang dipantulkan ke sebuah lensa di Olimpia, Yunani, tempat Olimpiade kuno digelar lebih dari 2.700 tahun lalu.

Dari Olimpia, api dengan obornya disalurkan ke negara tuan rumah.

Namun, pemindahan obor Olimpiade secara estafet (torch relay) atau bergantian baru dikenal pada 1936 saat Olimpiade musim panas di Berlin.

Sorip Harahap mencatat, pada PON VII api dibawa berlari sejauh 97 kilometer dari Pamekasan ke Bangkalan, lalu Surabaya. Total, api dibawa selama satu hari delapan jam. Api ini diterima oleh setiap bupati, wali kota wilayah yang disinggahi.

Sama seperti sekarang, obor pun sudah dibawa oleh atlet yang dianggap berjasa. Pada PON 1969, atlet tersebut adalah J. H. Serhalawan dari Jawa Timur.

Akan tetapi, dalam PON VIII pada 1973 dan PON IX 1977 di Jakarta, Panitia PON justru beralih kepada cara Olimpiade: menggunakan sinar matahari. Api ini diambil di kawasan Monumen Nasional.

Baca juga: Pengunjung pembukaan PON Papua terus berdatangan hingga malam

Pelari Suwatini Elias Margio mendapat kehormatan membawa obor PON 1973 dan Jopi Timisela menjadi penyulut api kaldron, sementara pada 1977 perenang Achmad Dimyati dan pemain anggar Zus Undap bersama Mohammad Sarengat dan Minarni Sudaryanto menjadi penyala kaldron.

Dalam PON X pada 1981 yang juga diadakan di Jakarta, api PON beralih lagi ke alam yang kala itu didapatkan dari Desa Manggarmas, Grobogan, Jawa Tengah. Api ini dikenal sebagai Api Abadi Mrapen.

Pemilihan api Mrapen ini amat bersejarah lantaran api tersebut juga digunakan untuk menyalakan obor Pesta Olahraga Negara-negara Kekuatan Baru (Games of the New Emerging Forces/Ganefo) di Jakarta pada 10-22 November 1963.

Perjalanan api PON dari Manggarmas ke Jakarta sejauh 1.403 kilometer memakan waktu 11 hari. Api ini dibawa secara estafet melewati Semarang, Demak, Kudus, Madiun, Ngawi, Sragen dan Solo.

Di Solo, api diinapkan selama semalam sebagai penghormatan kepada kota penyelenggara PON yang pertama. Setelah itu, gerak api berlanjut ke daerah-daerah seperti Klaten, Yogyakarta, Bantul, Ciamis, Bogor dan tiba Jakarta.

Pada PON 1981, api PON dibawa dan dinyalakan di kaldron oleh atlet lompat jangkit putra nasional Awang Papilaya.

Dalam prosesnya, sumber api PON tidak terpaku ke satu dua tempat.

Baca juga: Jumlah atlet dalam defile kontingen PON Papua dibatasi

Pada PON 2000 di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, api diambil dari api abadi Kayangan Api di Bojonegoro.

Lalu dalam PON XVII pada 2008 di Samarinda, Kalimantan Timur, api didapatkan dari Api Abadi Sungai Siring, Samarinda Utara, Samarinda.

Saat PON XX Papua, 2-15 Oktober 2021, api PON berasal dari daerah Klamono, Sorong. Wilayah ini dipilih karena menjadi lokasi pertama kali minyak dan gas bumi di Tanah Papua ditemukan pada 1936.

Manusia sering kali membutuhkan simbol-simbol tertentu agar dapat termotivasi dan bergerak demi mencapai tujuan.

Api PON, api Olimpiade dan api-api lain secara sains mungkin hanyalah hasil dari proses pencampuran gas secara kimiawi.

Namun, di tangan kemanusiaan, api bisa berarti banyak hal. Bisa pemberi semangat, kehangatan dan, tentu saja, pendorong diri untuk menjadi lebih baik. Setiap hari.

Baca juga: Warga antusiastis tunggu pesta kembang api pembukaan PON Papua

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2021