mereka harus jadi 'raja' di tanahnya sendiri
Jakarta (ANTARA) - Terletak tidak terlalu jauh dari pusat Kota Merauke, namun karena akses jalan yang rusak membuat perjalanan ke Kampung Matara yang terletak di pesisir Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua pada Selasa (21/9), terasa sedikit panjang.

Kampung Matara di mana Suku Marind tinggal, mungkin sama dengan kampung-kampung lain di Papua maupun Papua Barat yang alamnya begitu kaya dan subur. Kutipan lirik lagu Koes Plus yang menyebut "Tongkat kayu dan batu jadi tanaman" cocok disematkan, termasuk untuk kampung yang menghadap langsung ke perairan Laut Arafura tersebut.

Kampung tersebut merupakan salah satu peserta program School of Eco-Involvement (SEI) dari Yayasan EcoNusa, yang sedang melakukan pemetaan wilayahnya. Tim EcoNusa bersama Kaka yang merupakan vokalis grup band Slank, serta Putri Agrowisata Indonesia 2021 Yokbet Merauje yang akrab disapa Yoke sengaja mendatangi Matara untuk berbincang dan berdiskusi dengan warga dan melihat potensi di sana.

Diskusi berjalan seru dan hangat bersama perangkat kampung, ketua adat, ketua RT, para pendeta dan suster, serta diikuti pula oleh anak-anak muda di sana. Topik pembahasan mulai dari kondisi jalan provinsi yang menjadi penghubung Kota Merauke dengan Kabupaten Mappi yang sudah bertahun-tahun rusak, sehingga membuat tidak ada lagi angkutan publik yang melintas di sana.

Kondisi itu juga menyulitkan warga untuk menjual hasil kebun seperti kelapa, beras dan pisang, hingga tangkapan laut seperti kepiting dan udang. Alhasil produk-produk pangan tersebut harus dijual dengan harga murah mengikuti kehendak pengepul, atau untuk hasil laut yang tidak terjual di kota harus busuk di tengah jalan.
 
Direktur Caritas Keuskupan Agung Merauke Pastor A Miller Senduk (kiri) saat menerima kunjugan tim Yayasan EcoNusa bersama perangkat kampung, warga dan tokoh adat di Kampung Matara, Distrik Semangga, Kabupaten Merauka, Papua (21/9/2021). ANTARA/Virna P Setyorini


Karena berada di wilayah pesisir dan memiliki hutan mangrove yang baik, begitu mudah bagi warga Kampung Matara untuk menangkap udang dengan jala dan memancing kepiting. Udang dan kepiting menjadi salah dua komoditas penting yang menjadi pendapatan warga hampir di sepanjang pesisir Merauke itu.

Bukan hanya para bapak, mama-mama pun ikut juga memancing kepiting atau bahkan menanam padi, kata mama Yosefina Kapsia (50) yang sebenarnya warga Kampung Domande, namun sering tinggal bersama saudaranya di Kampung Matara. Dirinya mengaku memancing kepiting dengan cara sederhana hanya dengan tali pancing dan tonggak bambu atau kayu sudah menjadi kebiasaan warga di sepanjang pesisir Kabupaten Merauke tersebut.

Tentu saja kondisi hutan mangrove yang sehat menjadi berkah tersendiri. Sementara hukum adat masih dipegang kuat, membuat warga tertata untuk menghargai alam dan budayanya.

Pada kesempatan yang sama, Kaka Slank bersama Yoke juga mendatangi pengrajin Tifa di Kampung Matara yaitu Paustinus Samkakai, serta pengrajin topi atau cenderamata cenderawasih dari sabut dan daun kelapa serta kayu sisa di Kampung Waninggap Nanggo yaitu Daniel Tanoy. Keduanya sedang menyiapkan kerajinan untuk dipamerkan atau dijual di ajang PON Papua di Merauke.

Akses pasar untuk produk-produk kerajinan dan komoditas lain di sana menjadi isu yang ikut menjadi pembahasan dalam diskusi. Meski jaringan telekomunikasi di pesisir Merauke tersebut termasuk baik, namun mereka belum bersentuhan dengan e-commerce yang dalam masa pandemi COVID-19 menjadi semakin lumrah digunakan untuk menjangkau pasar lebih luas.

Baca juga: "Dilarang bawa mantan" di ekowisata mangrove Pomako Mimika
Baca juga: Tim Laman: Temuan spesies cendrawasih jadi alasan lindungi hutan Papua


Mencetak para juara

Dalam diskusi muncul pula istilah matohale yang biasa digunakan Suku Marind yang diartikan menjadi sikap tak peduli yang lahir karena kekecewaan yang mendalam sehingga menanamkan rasa "kekalahan". Matohale ini yang ingin dihindari, sehingga EcoNusa menggandeng Caritas Keuskupan Agung Merauke untuk bersama menjalankan Sekolah Kampung.

Program Sekolah Kampung merupakan kegiatan pendidikan lapangan atau biasa disebut Sekolah Lapang, menjadi tugas lapangan para Kader Muda Pembangunan Kampung dalam program Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang biasanya dilakukan selama tiga bulan, sesuai dengan tema berdasarkan kebutuhan kampung setempat. Khusus untuk di Matara, kebetulan kelas Sekolah Kampungnya adalah pemetaan atau pangkalan data.
 
Tim Yayasan EcoNusa berada di kebun kelapa warga yang buahnya menjadi salah satu komoditas unggulan di Kampung Matara, Distrik Semangga, Kabupaten Merauka, Papua (21/9/2021). (ANTARA/Virna P Setyorini)


Kehadiran EcoNusa dalam satu tahun terakhir, menurut Direktur Caritas Keuskupan Agung Merauke Pastor A Miller Senduk yang juga merupakan Direktur Anasai Center, sudah membuat kampung-kampung di Merauke yang sebenarnya tidak masuk dalam program mereka tapi mulai mau mengikuti apa yang sedang dikerjakan, seperti mengembangkan pertanian organik dan kelas pemetaan atau membuat pangkalan data kampung.

Yang menjadi target mereka, kata Pastor Miller saat ditemui di MSC Center Anasai di Matara, menyukseskan perencanaan kampung yang sangat tersistem. Apa gunanya membangun sesuatu tanpa perencanaan, tanpa mengetahui masalah-masalah yang ada di kampung.

Salah satu faktor penting perencanaan adalah data, sehingga Pastor Miller bersama EcoNusa adalah mendata sumber daya manusia dan alam, kemudian memberikan masukan kepada kepala kampung apa yang harus dilakukan.

Saat ini arah pembangunan kampung itu, menurut dia, belum jelas. Ada Undang-Undang Desa, ada Kampung Tangguh, ada Kampung Budaya, tapi warga kampung tidak kenal itu semua, tidak ada pula pendampingan yang mumpuni yang benar-benar mengubah kemampuan mereka untuk membangun kampungnya.

Ia berharap dengan pendataan yang dilakukan sendiri oleh kader-kader kampung yang sudah terlatih melalui program yang dijalankan EcoNusa dan Caritas dapat benar-benar membentuk kampung yang diharapkan nantinya. Entah itu menjadi Kampung Tangguh, Kampung Cerdas, atau Kampung Agrobisnis dengan data yang dikumpulkan tersebut sehingga tercipta kampung model yang dapat direplikasi ke kampung lain di sana.

Dari Sekolah Kampung itu yang menarik, menurut Pastor Miller, bermunculan yakni focal-focal person, yang bisa dikatakan sebagai champions di kampung tersebut. Itu bentuk kaderisasi yang tidak terasah memang, baik dari sisi pertanian maupun pendataan.

Namun jika program itu diteruskan, dirinya yakin jumlah para “juara” itu akan semakin banyak di Papua. Dari yang sudah berjalan, menunjukkan anak-anak Papua juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan maju.

Ada juga empat kader muda di sana yang sebelumnya mengikuti mentoring pemetaan dan sistem informasi kampung SEI di Jambi pada Juni 2021, setelah sebelumnya sudah mengikuti School of Social Transformation (STS) atau Sekolah Kampung di tempat masing-masing. Itu menjadi bekal mereka untuk dapat melakukan pemetaan wilayah kampungnya.
 
Pastor A Miller menunjukan timun hasil berkebun anak-anak Papua yang sekolah di SMA Entrepreneurship Chevalier Anasai atau MSC Center Anasai di Kampung Matara, Distrik Semangga, Kabupaten Merauka, Papua (21/9/2021). ANTARA/Virna P Setyorini


Kristianus Vitalis Wimaim menjadi salah satu anak muda di sana yang ikut dalam Sekolah Kampung. Dirinya bersama anak-anak muda lainnya melakukan pengambilan berbagai macam data, mulai dari pendidikan warga, transportasi yang digunakan untuk mencapai sekolah, kebutuhan sehari-hari warga, bangunan rumah terbuat dari apa, usaha yang dimiliki warga, bagaimana pengelolaan sampah warga di kampung, di mana mereka membuangnya, apa pekerjaan warga, berapa pendapatan per minggu, aset yang miliki warga, bahkan hingga jumlah pinang sirih yang dihabiskan warga dalam sehari.

Setelah ada pemetaan wilayah kampung tentu untuk lebih mudah mengetahui keadaan di sana, mengenal berbagai potensi maupun kekurangan yang ada, membantu memperbaiki tata guna lahan, mengetahui kondisi hutan dan lahan yang mereka miliki, sehingga pada akhirnya memudahkan pengambil kebijakan di sana melakukan perencanaan pembangunan untuk kampungnya.

Ketika mereka telah menyadari dan memiliki kemampuan melihat kelebihan dan potensi di kampungnya, harapannya tidak ada alih fungsi lahan dan hutan menjadi perkebunan sawit atau apapun di sana. Mereka, kata Manager Kebijakan dan Advokasi Yayasan EcoNusa Cindy J Simangunsong, tidak akan mudah melepaskan lahannya untuk perusahaan atau pihak manapun.

Baca juga: Slank dan Papua Jungle Chef kolaborasi dukung pelestarian hutan Papua
Baca juga: EcoNusa dan Cornell Lab kampanyekan pelestarian hutan Papua dan Maluku



Motivasi dan "mindset"

Yoke setelah ikut mendengarkan persoalan yang dihadapi warga Kampung Matara mengatakan hal yang perlu dilakukan adalah memulai untuk bergerak bersama-sama melakukan suatu perubahan. Dan itu harus dilakukan oleh warga kampung sendiri secara bersama-sama, tidak bisa menunggu dari pihak manapun untuk dapat membuat perubahan.
 
Putri Pariwisata Papua 2021 Yokbet Merauje (kanan) berpose bersama Kaka Slank (kiri) mengenakan replika topi cenderawasih dari sabut dan daun kelapa buatan pengrajin Daniel Tanoy di Kampung Waninggap Nanggo, Distrik Semangga, Kabupaten Merauka, Papua (21/9/2021). ANTARA/Virna P Setyorini


Yoke yang juga merupakan Putri Pariwisata Papua 2021 memotivasi warga Kampung Matara dan merasa yakin banyak jalan akan terbuka ketika ada kemauan untuk membuka peluang itu sendiri ketimbang menunggu uluran dari pihak lain.

Pastor Miller pun mengamini apa yang Yoke katakan, dan berharap motivasi yang datang dari anak Papua dapat terus diberikan pada mereka yang ada di Matara. Perubahan mindset atau pola pikir warga, menurut dia, sangat penting, bahwa mereka memiliki kemampuan sama dengan yang lainnya.

"Mereka harus jadi 'raja' di tanahnya sendiri," katanya.

Oleh karena itu, program itu akan menciptakan orang yang mampu mengolah tanahnya sendiri, sehingga terjadi ketahanan pangan. Ia juga berharap agar anak-anak tidak menjual hutan dan lahannya di sini kelak. Hutan itu akan memberikan makanan untuk mereka dan ini menjadi falsafah hidup mereka kelak saat menyelesaikan pendidikan di sini

Kehidupan orang asli di sana akan habis kalau hutan Papua habis. Bukan hanya tempat mencari makan, tapi identitas mereka akan hilang, karena totem mereka berasal dari hutan.

Karenanya, menguatkan dan memotivasi anak-anak asli Papua, menjauhkan mereka dari matohale, menjadi salah satu cara memastikan masa depan hutan dan lahan di Tanah Papua tetap istimewa.

Baca juga: 76 satwa endemik Papua dilepasliarkan di hutan adat Isyo
Baca juga: Sensasi lengket di tengah Hutan Sagu Huruwakha
Baca juga: KLHK tanggapi laporan 11 LSM soal deforestasi tanah Papua

 

Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021