Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 11 aktivis dari serikat buruh mengajukan uji materi Pasal 6 dan Pasal 25 UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kuasa Hukum 11 orang anggota serikat buruh Indonesia, Mochtar Pakpahan di MK, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Senin, mengatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 34 ayat (2) dan (4) UUD 1945.

Kesebelas aktivis serikat buruh ini adalah Mudhofir dari DPN FKUI-SBSI, Parulian Sianturi dari FSB HUKATAN-SBSI, Edward P Marpaung dari LOMENIK-SBSI, Markus S Sidauruk dari FESDIKARI-SBSI, Supardi dari KAMIPARHO-SBSI.

Selanjutnya Herikson Pakpahan dari FTA-SBSI, Zulkifli S Ekomei dari KIKES-SBSI, Elly Rosita Silaban dari GARTEKS-SBSI, Nikasi Ginting dari FPE-SBSI, Ully Nursia Pakpahan dari FNIKEUBA-SBSI dan Lundak Pakpahan dari F BUPELA-SBSI.

Menurut Mochtar, para pemohon menganggap Pasal 6 dan Pasal 25 UU No 3 Tahun 1992 tersebut mengamanatkan untuk dibuat undang-undang tersendiri, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Menurutnya, Pasal 6 menguraikan ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

Sedangkan Pasal 25 ayat (1) menyatakan penyelenggara program Jamsostek dilakukan oleh Badan Penyelenggara adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan.

Mochtar menilai, peraturan perundangan yang dimaksud adalah Pasal 5 ayat (1) UU nomor 40 tahun 2004bahwa program SJSN dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang.

Sedangkan pada ayat (3), BPJS adalah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Persero Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan PT Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).

Namun, lanjut Mochtar, pada Pasal 4 menyatakan penerapan SJSN diselenggarakan berdasarkan prinsip nirlaba, sementara Jamsostek adalah perusahaan BUMN yang diwajibkan untuk mencari untung.

Pasal di UU nomor 40 tahun /2004, kata Mochtar, bertentangan dengan Pasal 34 ayat (2) dan (4) UUD 1945. Pasal itu mengamanatkan pada negara untuk mengembangkan SJSN bagi seluruh rakyat Indonesia serta memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Dengan alasan ini, kata Mochtar, pemohon dalam permohonannya meminta MK untuk menyatakan Presiden tidak menjalankan Pasal 34 UUD 1945, karena hingga sekarang belum juga membentuk BPJS melalui undang-undang seperti diamanatkan UU nomor 40 tahun 2004.

"Majelis memerintahkan Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) pembentukan BPJS, maksimal 30 hari setelah permohonan dikabulkan majelis," katanya.

Menanggapi permohonan ini Ketua Majelis Maria Farida Indrati meminta pemohon untuk memperbaiki permohonannya karena MK tidak berwenang menegur presiden.

"Tidak ada kewenangan MK untuk menegur Presiden seperti permohonan Anda," kata Maria Farida Indrati.

Maria Farida yang didampingi oleh Ahmad Fadlil Sumadi dan Akil Mochtar memberikan waktu kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya maksimal 14 hari.

(J008/A033/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011