dapat menggantikan material berbasis plastik
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Biomaterial Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dian Burhani mengatakan komoditas lokal makroalga berpotensi menjadi filter masker kain berbasis selulosa nanofiber pada masker kain non medis sehingga bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan.

"Masker saat ini, yang terbuat dari sumber daya yang tidak terbarukan dan tidak dapat terurai secara hayati, dapat menghasilkan mikroplastik berbahaya setelah dibuang setelah sekali pakai, yang merusak lingkungan," kata Dian dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Menurut Dian, lebih baik mengembangkan masker dengan bahan yang dapat terurai secara hayati untuk mengurangi masalah lingkungan demi masa depan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Dian menuturkan penggunaan bahan berbasis selulosa telah meningkat pesat selama dekade terakhir karena bobotnya yang rendah, biaya rendah, tidak beracun, kekuatan mekanik dan kekakuan yang tinggi dibandingkan dengan banyak bahan polimer komersial lainnya.

Selain itu, Dian menjelaskan,  biodegradabilitas dan kelayakan untuk didaur ulang membuat permintaan pasar untuk bahan berbasis selulosa terus meningkat.

"Selulosa dari makroalga telah mendapatkan perhatian yang meningkat baru-baru ini karena keuntungan yang ditawarkan dibandingkan dengan selulosa dari biomassa lainnya. Tidak adanya lignin dalam makroalga menyebabkan fraksi selulosa lebih murni, berpotensi lebih cocok untuk aplikasi biomedis daripada lignoselulosa," ujar Dian.

Baca juga: Ketua DPD RI dorong inovasi masker ramah lingkungan
Baca juga: Produsen ciptakan masker ramah lingkungan


Perempuan kelahiran Padang, Sumatra Barat pada 1 Desember 1986 itu berharap dapat melakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan filter masker berbasis bahan yang lebih ramah lingkungan.

"Saya berharap dengan penelitian ini, nantinya saya dapat mengembangkan filter masker (lapisan tengah masker) berbasis biomassa yang lebih ramah lingkungan. Sehingga perlahan dapat menggantikan material berbasis plastik yang menjadi salah satu penyebab polusi mikroplastik," tuturnya.

Dian mendapatkan penghargaan The 2021 Man and The Biosphere (MAB) Young Scientists Awards (YSA) dari UNESCO. Penghargaan itu diperoleh dari proyek penelitiannya yang berjudul The Potential of Local Commodity of Macroalgae from Karimunjawa Jepara Muria Biosphere Reserve as Mask-Filter-Based Cellulose Nanofiber in Non-Medical Cloth Mask to Promote Green Economy for Local Community atau Komoditi Lokal Makroalga dari Cagar Biosfer Karimunjawa Jepara Muria Sebagai Masker-Filter Berbasis Selulosa Nanofiber dalam Masker Kain Non Medis untuk Mendorong Ekonomi Hijau bagi Masyarakat Lokal.

"Mendapatkan masker dengan kapasitas lebih tinggi, yang memberikan kenyamanan optimal, serta efisiensi tinggi dalam menghilangkan bio-aerosol dan penyaringan partikel udara yang optimal selalu menjadi salah satu tujuan studi yang dilakukan di bidang ini. Untuk tujuan ini, faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan kualitas masker telah difokuskan pada peningkatan efisiensi masker," kata Dian.

Baca juga: Dosen Teknologi Kosmetik Itera buat masker kecantikan organik
Baca juga: Itera latih guru dan siswa di Bandarlampung produksi masker kecantikan
Baca juga: LPTB LIPI kembangkan masker bisa melemahkan virus corona


 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021