Jakarta (ANTARA) - Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah menyebut modus baru propaganda dan perekrutan jaringan radikalisme serta terorisme melalui media sosial dapat diatasi dengan pembuatan konten kontra narasi.

“Negara dan masyarakat harus menandingi propaganda dan perekrutan yang dilakukan oleh kelompok ini (radikal dan teroris) dengan menciptakan narasi kontra sehingga narasi yang disaksikan tidak bersifat tunggal," jelas Syauqillah ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu.

Syauqillah menjelskan narasi itu dapat diolah ke dalam berbagai konten di media sosial. Para pelaku propaganda itu memainkan narasi, elemen musik, bahkan nilai ideologi-ideologi ke dalam video yang diunggah ke media sosial.

Baca juga: Pakar: Peluang TNI lawan ekstremisme lewat kontra perang hibrida

Dengan begitu, lanjutnya, tampilannya pun mudah untuk dianggap menarik bagi generasi muda yang aktif di media sosial dan menggemari hal-hal modern, terlebih mereka yang masih menuju transisi masa dewasa.

Kondisi itu terbukti dalam beberapa kasus terorisme yang melibatkan pelaku berusia muda. Contohnya pelaku teror di Gereja Katedral Makassar yang merupakan pasangan suami-istri berusia 25 tahun dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Untuk mengatasinya, menurut dia, negara dan masyarakat sebaiknya mulai menandingi kecerdikan propaganda radikalisme dan terorisme di media sosial.

Baca juga: BNPT: Pemuka agama ujung tombak pencegahan paham radikal dan terorisme

Syauqillah mendalami, selain modus lama yang memanfaatkan ikatan keluarga dan ikatan pernikahan, media sosial menjadi modus baru yang semakin sering digunakan untuk menyusupi generasi muda.

“Modus baru itu menunjukkan adanya sisi yang berbeda dari media sosial ini. Propaganda radikalisme dan terorisme, seperti dari ISIS dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) banyak ditemukan di media sosial, khususnya video yang tersebar di YouTube, Twitter, atau Facebook,” tambah Syauqillah.

Fakta yang disampaikannya juga dapat dilihat dari penemuan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang telah melakukan pemblokiran muatan propaganda radikalisme dan terorisme sebanyak 20 ribuan konten hingga 3 April 2021.

Baca juga: Peran penceramah, deradikalisasi kontra radikalisme di "cyber space"

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021