Mahkamah bukan membuka remisi untuk narapidana korupsi, tetapi menghendaki model baru pemberian remisi.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIX/2021 tidak menghapus pembatasan remisi bagi narapidana korupsi.

"Mahkamah bukan membuka remisi untuk narapidana korupsi, tetapi menghendaki model baru pemberian remisi," kata Kurnia, di Jakarta, Rabu, menanggapi putusan MK pada 30 September 2021 terhadap uji materiil yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi Otto Cornelis Kaligis (OC) Kaligis terkait syarat pengurangan masa pidana (remisi) bagi narapidana (napi).

MK memutuskan menolak permohonan pengujian materiil Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Kamis (30/9), namun menyatakan semua napi memiliki hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali.

"MK dalam putusannya menyatakan tidak hendak ikut campur dalam penentuan pemberian remisi terutama terkait eksistensi Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012, namun permasalahannya adalah pandangan MK tentang model pemberian remisi harus melalui putusan peradilan," ujar Kurnia.

Dari pertimbangan tersebut, menurut Kurnia, muncul kesan baik pembatasan maupun pemberian remisi melalui PP 99/2012 merupakan suatu kesalahan.

"Padahal, MK sendiri dalam putusan tersebut sudah menyebutkan bahwa wilayah pengujian PP bukan merupakan bagian kewenangannya. Maka putusan MK tersebut jelas 'error in objecto' karena membahas sesuatu yang bukan objek perkaranya," kata Kurnia lagi.

Kurnia juga menilai bahwa majelis hakim konstitusi memaksakan diri mengeluarkan pendapat, sehingga membuka ruang tafsir berbeda di tengah masyarakat.

Selain itu, putusan MK dinilai tidak tegas, meski MK sama sekali tidak membatalkan peraturan-peraturan yang ada terkait remisi.

"Sederhananya, jika memang putusan tersebut tidak bertentangan dengan putusan-putusan MK terdahulu, maka tidak perlu lagi komentar-komentar lain di luar substansi permohonan dengan berbagai alasan. Itu sebabnya komentar MK terkait remisi dan kewenangan hakim untuk menentukannya terkesan tidak tegas dalam melindungi putusan-putusan sebelumnya," ujar Kurnia.

Ketidaktegasan itu disebut makin memperlihatkan ketiadaan "sense of crisis" terhadap kejahatan korupsi di Indonesia, padahal praktik korupsi masih menjadi sumber utama penghambat kesejahteraan masyarakat.

"Tidak hanya itu, MK juga gagal dalam memahami pemaknaan korupsi sebagai 'extraordinary crime' yang membutuhkan perlakuan khusus untuk dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan, sehingga kalau seluruh terpidana tanpa terkecuali dapat dengan mudah mendapatkan remisi, berarti menyamaratakan semua tindak pidana," kata Kurnia pula.

Padahal putusan-putusan MK sebelumnya dengan tegas mengesahkan pembatasan hak untuk menerima remisi bagi pelaku kejahatan-kejahatan khusus seperti korupsi.

Terlebih dalam salah satu butir pandangannya, MK menyebutkan bahwa persyaratan pemberian remisi bagi terpidana dengan kejahatan khusus berdampak pada situasi "overcrowded" di lembaga pemasyarakatan.

"Jelas pandangan MK keliru, sebab mengacu pada data per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi hanya 0,7 persen (1.906 orang) jika dibandingkan dengan total keseluruhan warga binaan (270.445 orang). Dalam konteks kejahatan lain, misalnya, narkoba, sepertinya permasalahannya bukan pada pengetatan remisi, melainkan undang-undang dan implementasi dari penegak hukum," kata Kurnia lagi.

Sehingga ICW berkesimpulan putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 tesebut tidak dapat dijadikan alasan mengubah PP 99/2012 yang mengatur syarat remisi bagi terpidana koruptor, salah satunya adalah ditetapkan sebagai "justice collaborator" yaitu pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara.

"Mahkamah sama sekali tidak berwenang menafsirkan apa pun yang diatur dalam PP Nomor 99/2012, sebab PP itu bukan objek kewenangannya. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, MK hanya berwenang menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, sehingga pemerintah tidak dapat berargumentasi terhadap pandangan mahkamah di luar objek permohonan untuk mengubah PP 99/2012 yang memberikan pembatasan pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan-kejahatan tertentu, termasuk korupsi," ujar Kurnia menegaskan.

Dalam putusannya, MK berpendapat, penahanan atas diri pelaku tindak pidana, termasuk dalam hal ini menempatkan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan pada dasarnya merupakan perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang.

Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan, karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights).

MK menyebut persyaratan yang ditentukan tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan, selain juga harus mempertimbangkan dampak 'overcrowded' di lapas yang juga menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Karena itu, menurut Mahkamah, adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.
Baca juga: KPK sebut remisi merupakan hak napi dengan syarat yang ditentukan
Baca juga: KPK beda pendapat dengan Kemenkumhan soal tujuan remisi

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021