Diharapkan, para Alumni IFCA 2021 bisa menjadi ujung tombak dalam membangun industri yang lebih ramah lingkungan dan inklusif
Jakarta (ANTARA) - Siapa sangka, kulit pisang yang biasa diabaikan pedagang gorengan atau kulit singkong yang dibuang begitu saja oleh para pengolah peyeum di Bandung, Jawa Barat, dapat menjadi sebuah kerajinan bernilai ekonomi nan indah di tangan Difliyatul Isna Alvionita atau akrab disapa Della.

Perempuan berusia 29 tahun itu bereksperimen untuk menghasilkan bahan baku kerajinan yang lebih ramah lingkungan dari buah dan sayur selama satu tahun.

Tidak hanya kulit pisang dan singkong, Della juga memanfaatkan aneka sayur dan buah dari minimarket yang sudah layu dan akan dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA), untuk diolah menjadi kulit berbasis sayur dan buah atau disebut sebagai "vegan leather".

Della menghabiskan waktu setidaknya dua minggu untuk setiap kali proses mengolah limbah sayur dan buah menjadi "vegan leather", karena dibutuhkan waktu fermentasi menggunakan bakteri selama 14 hari.

Dari hasil fermentasi itu, kemudian memasuki proses pengeringan hingga menjadi material atau bahan baku kulit. Kemudian, material tersebut diolah lagi agar tahan terhadap suhu dan air, sehingga dapat digunakan untuk bahan baku berbagai kerajinan dengan lebih ramah lingkungan.

Dari material ramah lingkungan yang diciptakannya itu, Della kemudian membangun usaha rintisan bernama Natakraf. Usaha yang dimulai sejak awal 2021 tersebut memproduksi aneka kerajinan berbahan baku buah dan sayur.

Salah satu karya lulusan Desain Produk Universitas Telkom itu bernama Lunar, yang adalah lampu dinding dengan sentuhan anyaman "vegan leather" dari hasil pengolahan limbah buah sayur.

Desain Lunar terinspirasi dari pergerakan gerhana Bulan yang memberikan harmoni bentuk dan warna yang berbeda dengan balutan anyaman khas Indonesia. Dalam memproduksi Lunar dan kerajinan lain dari Natakraf, Della memberdayakan perempuan-perempuan di Desa Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Della mengajarkan perempuan-perempuan yang ekonominya semakin terhimpit di masa pandemi COVID-19 tersebut untuk menganyam "vegan leather". Dari sana, mereka menjadi memiliki tambahan penghasilan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Pencinta jalan-jalan itu memilih teknik menganyam pada produk Lunar karena merupakan teknik turun temurun khas Indonesia. Ia berharap, Lunar tidak hanya berfungsi sebagai penerangan yang indah, namun juga memunculkan rasa kecintaan dari apa yang dimiliki Tanah Air Indonesia.

Della kemudian mengikutsertakan Lunar pada kompetisi Indonesia Fashion and Craft Award (IFCA) 2021 yang dihelat Kementerian Perindustrian.

Karya dan cita-cita Della tersebut rupanya dinilai baik oleh para juri pada ajang IFCA. Lunar akhirnya berhasil meraih juara I untuk kategori kriya.

Della berharap kemenangan tersebut akan membawanya pada petualangan bisnis baru dengan ilmu, pengalaman, serta pembinaan yang akan diberikan sebagai salah satu hak istimewa bagi sang juara.

Baca juga: Kemenperin dorong pelaku ekonomi kreatif lewat kompetisi IFCA 2021

 

Mengolah limbah tekstil

Jika Della dengan karyanya Lunar adalah pemenang IFCA dari kategori kriya, maka Asari Widi adalah juara teratas dari IFCA 2021 untuk kategori fesyen.

Asari dengan brand fashion miliknya bernama Beri Aku Waktu berhasil meraih juara I pada ajang IFCA 2021 yang sekaligus akan mengikuti pembinaan usaha dari Kemenperin.

Beri Aku Waktu adalah sebuah brand fashion berbasis daur ulang residu industri tekstil, yang bertujuan memberi kesempatan material residu untuk hidup, berdaya guna dan indah kembali.

Produk pemenang Indonesia Fashion and Craft Award (IFCA) 2021 dari brand fashion Beri Aku Waktu di Jakarta, Selasa (5/10/2021). ANTARA/Sella Panduarsa Gareta/am.
Pada satu kesempatan, akademisi di Magister Terapan Rekayasa Tekstil dan Apparel Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung itu, melihat tumpukan limbah denim dan kain yang sudah tidak terpakai.

Ia kemudian merenung dan berkhayal apa kiranya yang diinginkan limbah kain itu jika mereka adalah sebuah subjek, bukan objek.

Asari kemudian terpikir kemungkinan limbah-limbah tersebut ingin menjadi indah dan bermanfaat kembali sebagaimana kain-kain yang sebelumnya menyatu dengan mereka.

Upaya tersebut tentu saja membutuhkan waktu untuk diolah dan dikembangkan. Dengan filosofi itu, jadilah nama Beri Aku Waktu dipilih sebagai payung usaha perempuan kelahiran 1994 itu.

Sejak 2019, Asari bergelut dengan residu tekstil untuk dijadikan bahan baku tekstil agar kembali bernilai. Bahan baku tekstil yang dihasilkan menggunakan teknik wilting, yakni residu tersebut dibungkus tile dan dijahit, kemudian dibuat menjadi aneka produk tekstil yang fashionable.

Mulai dari tas, sepatu, topi, hingga pakaian dapat dihasilkan dari bahan baku yang memanfaatkan limbah tekstil itu. Uniknya, warna yang keluar dari produk-produk fesyen berbahan baku residu tekstil merupakan warna alami yang keluar dari residu itu sendiri.

Jika menggunakan residu denim, maka warna produk tekstil yang dihasilkan akan dominan biru. Namun, jika residu yang digunakan berwarna-warni, maka warna yang dihasilkan menjadi abu-abu.

Namun, jika ingin menghasilkan warna tertentu, misalnya merah muda, maka akan dilakukan sortir terhadap residu berwarna merah muda.

Jika penasaran dengan karya Asari, produk fesyen Beri Aku Waktu akan mulai dikomersialisasikan pada akhir tahun ini.

Baca juga: Kemenperin telurkan desainer fesyen dan kriya ramah lingkungan di IFCA

 

IFCA 2021

Kompetisi IFCA 2021 digelar dengan tema "Adaptability in Responsible Design" untuk memberikan kesempatan kepada para desainer terutama dari kalangan milenial agar menciptakan produk inovatif dan kreatif, yang bisa menjawab tantangan di tengah ketidakpastian, dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam serta keselarasan hubungan antarmanusia.

Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kemenperin Reni Yanita mengungkapkan bahwa konsep desain sangat penting dalam rantai nilai penciptaan suatu produk karena berpengaruh terhadap bahan baku, proses produksi, hingga penyampaian produk kepada konsumen, yang pada akhirnya mendukung daya saing suatu produk.

Melalui IFCA, para desainer muda tak hanya diuji kemampuannya, tetapi juga mendapatkan proses pengembangan bisnis melalui pendampingan (coaching) dari para praktisi, akademisi, dan creative ecosystem builder atau penggiat komunitas kreatif.

Diharapkan, para Alumni IFCA 2021 bisa menjadi ujung tombak dalam membangun industri yang lebih ramah lingkungan dan inklusif, sehingga kita bisa menghadirkan dunia yang semakin nyaman bagi semua.

Desainer fesyen dan kriya juga harus mulai memperhatikan perilaku masyarakat, terutama konsumen sasarannya.

Tujuannya, agar bisa memetakan kebutuhan masyarakat, sehingga konsep produk yang dipasarkan dapat sesuai dengan target konsumen utama.

Pada gelaran tahun ini, para pemenang IFCA akan mendapat uang pembinaan total senilai Rp130 juta untuk kategori kriya dan fesyen serta pembinaan usaha yang berkesinambungan.

Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021