Jakarta (ANTARA) - Penulis Tanzania yang menetap di Inggris, Abdulrazak Gurnah, pada Kamis (7/10) waktu setempat memenangkan penghargaan Nobel Sastra 2021 berkat karya novelnya yang mengangkat permasalahan dampak migrasi pada individu dan masyarakat.

Gurnah mengatakan dirinya sangat terkejut ketika mendapat telepon dari Akademi Swedia sehingga mengira itu adalah lelucon.

“Saya pikir itu tidak benar. Itu benar-benar membuat saya kaget,” katanya kepada The Associated Press, dikutip pada Kamis.

Ia mengatakan tema migrasi dan pengungsian yang dieksplorasi dalam novel-novelnya bahkan lebih mendesak untuk masa sekarang dibanding pada masa ketika ia memulai karier menulisnya, terutama karena saat ini terjadi pergerakan massa pengungsi dari Suriah, Afghanistan, dan sekitarnya.

Gurnah berharap karya fiksi dapat membantu orang-orang di negara-negara kaya memahami kemanusiaan para migran yang hanya mereka lihat di layar.

“Yang bisa dilakukan fiksi adalah mengisi kekosongan. Dan benar-benar memungkinkan orang untuk melihat bahwa, pada kenyataannya, itu adalah cerita rumit yang tampaknya telah menjadi budaya populer yang entah bagaimana terus abai terhadap apa yang tidak ingin mereka dengar,” katanya.

Ia belum lama ini pensiun sebagai profesor sastra Inggris dan studi pasca-kolonial di Universitas Kent. Lahir pada tahun 1948 di pulau Zanzibar, sekarang bagian dari Tanzania, Gurnah pindah ke Inggris pada akhir 1960-an. Pada saat itu ia melarikan diri dari rezim represif yang menganiaya komunitas Muslim Arab di tempat di mana ia berasal.

Ketua Komite Nobel untuk Sastra, Anders Olsson, menyebut Gurnah sebagai salah satu penulis pasca-kolonial paling terkemuka di dunia. Menurutnya, tempat asal Gurnah, Zanzibar, menyimpan sejarah penting di mana banyak bahasa saling bertemu bahkan kosmopolitan jauh sebelum globalisasi.

“Karyanya memberi kita gambaran yang jelas dan sangat tepat tentang Afrika lain yang tidak begitu dikenal oleh banyak pembaca, daerah pesisir di dalam dan sekitar Samudra Hindia yang ditandai oleh perbudakan dan pergeseran bentuk represi di bawah berbagai rezim dan kekuatan kolonial: Portugis, India, Arab, Jerman, dan Inggris,” kata Olsson.

Gurnah mengatakan ia “tersandung” di dunia kepenulisan setelah tiba di Inggris sebagai cara untuk mengeksplorasi pengalaman atas kehilangan dan pembebasan imigran.

Ia telah menulis 10 novel, termasuk “Memory of Departure”, “Pilgrims Way”, “Paradise” yang terpilih untuk Booker Prize pada 1994, “By the Sea”, “Desertion”, dan “Afterlives”. Latar cerita berkisar dari Afrika Timur di bawah kolonialisme Jerman hingga Inggris modern.

Bahasa ibu Gurnah adalah bahasa Swahili, namun ia menulis dalam bahasa Inggris. Ia merupakan penulis kelahiran Afrika keenam yang dianugerahi Nobel Sastra, yang selama ini telah didominasi oleh penulis Eropa dan Amerika Utara sejak diadakan pada 1901.

Baca juga: Louise Gluck perpanjang daftar perempuan peraih Nobel Sastra

Baca juga: Akademi Swedia pertahankan keputusan soal pemenang Nobel Sastra 2019

Baca juga: Skandal seks tunda pengumuman Nobel Sastra

Penerjemah: Rizka Khaerunnisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021