Jayapura (ANTARA) - Dalam perjalanan dari Kota Jayapura ke Distrik Nimbokrang di Kabupaten Jayapura yang berjarak 83 km, ANTARA sesekali melihat warga memajang satwa-satwa dilindungi termasuk burung ikonik cenderawasih yang sudah diawetkan, di pinggir jalan, laksana orang menjajakan buah-buahan di tepi jalan raya di Jawa.

ANTARA juga sering mendapati truk-truk besar dan kontainer lalu lalang dari beberapa titik, padahal tak ada komplek industri besar di sepanjang jalur ini. Ternyata kebanyakan masyarakat sekitar situ tahu truk-truk itu mengangkut kayu yang diatur demikian rupa sehingga tak terlihat tengah mengangkut kayu. Sebagian diduga mengangkut kayu dari pohon-pohon yang ditebang tanpa izin.

Ternyata, masih saja ada yang memburu satwa eksotis di mana hukum melindunginya. Pegiat lingkungan yang juga pelestari hutan adat, Alex Waisimon, sampai keheranan terhadap alasan orang masih saja membunuhi satwa-satwa eksotis yang dilindungi itu.

"Mereka beralasan, 'kalau tidak tembak burung, kita makan dari mana?", kata Alex di situs suaka alam yang juga kawasan ekowisatanya yang dinamai Isyo Hill's Bird Watching di Rhepang Muaif di Distrik Nimbokrang, 6 Oktober lalu.

Baca juga: Melihat Cenderawasih di Bird Watching Isyo Hills Jayapura

"Saya tanya balik mereka," kata Alex. "Kapan nenek moyang kita mengajarkan begitu? Semua diam tak bisa menjawab karena memang nenek moyang kami tak pernah mengajarkan merusak alam, membunuhi satwa semata agar kita tetap bisa makan."

Ini adalah sedikit contoh dari banyak ironi di tanah yang didaulat sebagai paru-paru dunia itu namun ternyata masih banyak praktik yang berseberangan dengan keharusan sebuah ekosistem menjaga diri karena menjadi paru-paru dunia.

Situasi ini sebenarnya terjadi di mana-mana di Indonesia. Semua berbicara tentang kearifan lokal namun pada praktiknya kerap merupakan laku latah yang tak membuat ucapan sejalan dengan praktik. “Sikap memaklumi” atau pura-pura tidak tahu terhadap praktik-praktik ilegal seperti pembalakan liar dan mereka yang masih saja menangkapi satwa-satwa dilindungi, adalah salah satu petunjuknya.

Padahal nenek moyang suku apa pun di Nusantara ini tak pernah mengajarkan manusia semena-mena merambah alam hanya demi perut manusia belaka. Karena jika ini yang terjadi maka alam bisa terus terdegradasi. Dan yang rugi manusia juga.

Beruntung, pandemi dalam beberapa hal telah mengerem degradasi alam karena polusi dan ulah eksploitatif manusia berkurang karena pandemi membuat mobilitas dan kegiatan manusia terbatasi, termasuk aktivitas-aktivitas niaga berkaitan dengan eksploitasi hutan.

Statistik resmi sendiri memperlihatkan degradasi alam di Indonesia cenderung menurun yang ditunjukkan dengan menurunnya laju deforestasi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret 2021 menunjukkan laju beralih fungsinya hutan sehingga area hutan berkurang itu menurun selama periode 2019-2020.

Baca juga: Burung Cenderawasih dilarang dijadikan suvenir

Selanjutnya : menstabilkan iklim

Copyright © ANTARA 2021