Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menyebut jasa yang ditawarkan teknologi finansial (tekfin) bisa membantu namun juga bisa menjerumuskan jika tidak digunakan dengan bijak.

"Teknologi finansial ini bisa sangat membantu, teknologinya cepat dan mudah ketika kita sedang membutuhkan uang. Tapi, bisa juga menjerumuskan," kata Direktur Eksekutif APPI Susilo Sudjono saat webinar tentang literasi keuangan beberapa waktu lalu.

Baca juga: Tekfin menjamur, inklusi keuangan perlu ditingkatkan

Layanan teknologi finansial memang menawarkan kemudahan, sayangnya, tidak semua tekfin yang beroperasi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). APPI meminta masyarakat tidak menggunakan teknologi finansial yang ilegal meski pun layanannya mudah diakses.

Dia khawatir ketika terjadi masalah, lalu masyarakat melapor ke OJK, lembaga tersebut tidak bisa berbuat banyak karena perusahaan tersebut ilegal sehingga menjadi kewenangan penegak hukum.

"Kita yang harus hati-hati," kata Susilo.

Untuk itu, dia meminta masyarakat untuk mengecek apakah perusahaan tersebut terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebelum menggunakan layanan teknologi finansial.

Selain mengecek legalitas perusahaan teknologi finansial, hal yang tidak kalah penting adalah memperhitungkan kemampuan sebelum mengajukan pinjaman baik ke layanan teknologi finansial maupun lembaga pembiayaan lainnya.

Perlu diketahui, semua perusahaan pembiayaan yang legal memasukkan data ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. SLIK ini juga menjadi informasi apakah kreditur lancar membayar pinjaman.

"Sebelum menarik dana dari lembaga keuangan, melakukan pinjaman, harus benar-benar perhitungkan kemampuan karena akan terdeteksi terus seumur hidup," kata Susilo.

Ketika pembayaran macet, kredibilitas kreditur akan terekam di SLIK dan bisa jadi menyulitkan ketika akan mengajukan pinjaman lagi.

Jika hal ini terjadi pada kreditur yang membutuhkan modal usaha, dia bisa kesulitan untuk mengajukan pinjaman dalam jumlah yang besar.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK pada 2019 menyebutkan terdapat 31,26 persen responden yang pernah menggunakan layanan keuangan digital, sementara yang tidak pernah berjumlah 68,74 persen.

Mereka beralasan tidak membutuhkan, tidak mengerti atau tidak mempercayai layanan keuangan digital.

Baca juga: Tips OJK agar tidak terjebak fintech bodong

Baca juga: Sektor tekfin mendorong pertumbuhan ekonomi digital

Baca juga: Warung Pintar rilis fitur Bon Pintar untuk pedagang

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021