Sorong (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum merekomendasikan penangkapan dan penjualan ketam kenari di kawasan destinasi wisata Piaynemo Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Kepala Seksi Wilayah 1 Waisai Raja Ampat, Partolongan Manalu di Waisai, Sabtu, mengatakan bahwa ketam kenari yang juga disebut kepiting kelapa (Birgus latro) dilindungi, namun bermanfaat bagi ekonomi masyarakat.

Baca juga: BBKSD sosialisasi perlindungan ketam kenari di Kepulauan Fam

Dia mengatakan bahwa masyarakat Kepulauan Pam Waigeo Barat Kepulauan mengharapkan agar ada kuota ketam kenari untuk dijual demi pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Karena itu, kata dia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat telah membentuk Kelompok Tani Hutan pada tiga kampung di Kepulauan PAM Waigeo Barat Kepulauan untuk pengelolaan ketam kenari tersebut.

"Kami juga telah mengusulkan kepada LIPI agar ada kuota untuk dijual dan dimakan sesuai kebutuhan dan keinginan masyarakat ," ujarnya.

Namun, lanjut dia, LIPI telah melakukan penilaian berdasarkan data yang dikirim BBKSDA belum memenuhi syarat, sehingga belum ada rekomendasi untuk dimanfaatkan.

Ia menjelaskan bahwa ketam kenari yang bisa dimanfaatkan, baik dijual atau dimakan oleh masyarakat sesuai ketentuan LIPI adalah ketam kenari dengan bobot tubuh besar di atas satu kilogram.

Baca juga: Ketam kenari gagal diselundupkan dari Baubau

Baca juga: Akademisi rekomendasi ketam kenari ditangkarkan


Untuk Kepulauan Pam, katanya, dari data yang ada bobot tubuh masih kecil-kecil sekitar 600-700 miligram, sehingga tidak direkomendasi oleh LIPI untuk dimanfaatkan.

"Populasi ketam kenari di Kepulauan Pam juga sangat memprihatinkan, sehingga diharapkan masyarakat tidak dimanfaatkan dulu dan harus dijaga kelestariannya. Kami menyarankan agar masyarakat menjadikan aktivitas ketam kenari terutama cara makannya sebagai atraksi wisata sambil menunggu bobot tubuh ketam kenari sesuai ketentuan," ucapnya.

Pewarta: Ernes Broning Kakisina
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021