Jakarta (ANTARA) - Jika Anda berkesempatan menaiki helikopter pada saat cuaca cerah di siang hari dan mengitari langit DKI Jakarta saat ini, maka akan melihat pemandangan lain dibanding lima atau 10 tahun lalu.

Saat mata tertuju pada gedung-gedung tinggi di Jakarta dan melewati di atasnya, akan ada pantulan cahaya yang sedikit banyak menyilaukan mata dari atap-atap gedung itu.

Hal itu karena sejumlah atap gedung itu, saat ini sudah menggunakan panel-panel surya penangkap cahaya matahari atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya  (PLTS) Atap.

Pemandangan menyolok PLTS Atap ini tampak di atas beberapa gedung seperti Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), termasuk juga beberapa gedung milik Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota (Pemprov DKI) Jakarta.

Khusus gedung milik Pemprov DKI ini, kata Gubernur  Anies Baswedan, pada Agustus 2019, akan dipasang solar panel hingga 2022 di gedung-gedung pemerintah daerah, gedung sekolah, gedung olah raga, dan fasilitas kesehatan. 

Baca juga: Pemerintah akomodasi kebutuhan industri dan komersial pasang PLTS atap

Anies Baswedan mengatakan hal itu setelah bertemu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, pada saat itu. 

Tujuan utamanya untuk mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Energi yang bersumber dari fosil atau bahan bakar mineral, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam ini, mengandung hidrokarbon yang tidak dapat diperbaharui dalam waktu singkat.

Penggunaan energi fosil dalam jumlah besar yang melepaskan gas-gas, seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO2), dan sulfur dioksida (SO2),  menyebabkan pencemaran udara dan hal ini berdampak pada pemanasan bumi.
 
Petugas memelihara panel surya yang terpasang di atap gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Senin (24/5/2021). Kementerian ESDM menyebutkan bahwa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Aurya (PLTS) akan menjadi prioritas pemerintah dalam mengakselerasi pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai target untuk mencapai "net zero emission". ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.
  
Bahkan untuk mencegah dampak tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengendalian Kualitas Udara Jakarta dan memerintahkan semua gedung milik pemerintah daerah untuk dipasangi PLTS Atap.

Langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini diikuti oleh kementerian/lembaga lainnnya di DKI Jakarta, termasuk gedung-gedung perkantoran dari swasta lainnya.

Dalam perkembangannya, semangat untuk menggelorakan energi baru terbarukan (EBT) ini semakin banyak dimanfaatkan. Hampir di seluruh kota-kota provinsi di Indonesia tampak seperti berlomba memasang PLTS Atap ini.

Artinya, tak dapat dipungkiri, EBT mendapatkan perhatian yang sangat besar dari pemerintah. Ini menimbulkan kesan tidak langsung, bahwa seakan-akan energi fosil, terutama minyak dan gas (migas) sudah menjadi nomor dua.

Persoalannnya, kini mengemuka di benak publik, benarkah sektor hulu migas nasional akan benar-benar dipinggirkan? Benarkah sektor hulu migas ini kontribusinya sudah tidak diperhitungkan lagi untuk masa depan ekonomi Indonesia, minimal dalam beberapa tahun mendatang?


Sangat signifikan
Mengamati peran sektor hulu migas saat ini, agaknya kita bisa menoleh ke belakang sejenak tentang peta kondisi sumber energi di Indonesia.

Data dari Energi Outlook Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, menunjukkan, Indonesia sudah menjadi net importir minyak bumi sejak 2004 atau terancam jadi net importir gas bumi di 2028. Lalu, net importir energi pada 2032 dan net importir batubara pada 2038.

Ancaman ini, agaknya bisa menjadi kenyataan apabila cadangan energi fosil terus dieksploitasi dan tak ada eksplorasi energi baru terbarukan yang menjadi andalan. Artinya memang, sudah waktunya Indonesia, serius beralih ke energi terbarukan, seperti energi surya ini.

Namun, peralihan dari energi fosil ke EBT alangkah baiknya jika diperhitungkan dengan sangat cermat oleh pemerintah sehingga Indonesia tidak menjadi net importir minyak bumi, gas bumi, dan bahkan batu bara.

Baca juga: Pemerintah targetkan rasio elektrifikasi 100 persen tahun depan

Pemerintah menargetkan Indonesia memanfaatkan EBT sebanyak 23 persen pada 2025 dan jika hal itu tercapai, maka peran energi fosil saat itu masih sekitar 70 persen.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, dalam sebuah webinar, baru-baru ini, mengungkapkan, sektor energi ini masih menguasai hajat hidup orang banyak dalam arti yang sesungguhnya.

Untuk itu diperlukan kehati-hatian agar dalam upaya transisi energi ini jangan sampai berbalik jadi disinsentif bagi perekonomian nasional.

Jika ada masalah bagi ekonomi nasional, maka kebijakan umum yang akan ditempuh adalah impor, sehingga neraca perdagangan nantinya bermasalah dan bisa berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, cukup dalam.
 
Ilustrasi upaya memaksimalkan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Sulawesi Selatan dengan penyelesaian pengujian PLTA Malea berkapasitas 2x45 Megawatt (MW) untuk memperluas layanan ke pelanggan. ANTARA Foto/ HO/Humas PLN UIP Sulawesi


Patut diingat, adalah struktur nasional ekonomi Indonesia hingga saat ini masih ditopang oleh struktur bahan baku dan bahan penolong impor.

Jika nilai tukar terganggu maka produk dan jasa juga akan mengalami kontraksi seperti yang terjadi pada krisis ekonomi moneter pada 1998. "Peran migas itu bisa menjadi pintu masuk ke arah krisis, kalau pemerintah tidak hati-hati," kata Komaidi.

Apalagi, data ReforMiner Institute menyebut, hingga saat ini struktur ekonomi Indonesia terdapat sedikitnya 185 subsektor, mulai dari pertanian, perkebunan, termasuk pertambangan. Mereka berada di belakang hulu migas sekitar 73 sektor dan di depannya sebagai pengguna 45 sektor.

Jika kegiatan hulu migas bermasalah, maka sebetulnya bukan hanya hulu migas yang bermasalah, tapi ada di belakangnya 73 sektor ikut bermasalah dan 45 sektor di depan juga bermasalah.

Kemudian, kendati ada pendapat pengambil kebijakan yang menyebutkan, bahwa kalau hulu migas Indonesia tak berproduksi tetap bisa impor.

Kalau impor, 45 sektor tadi akan tetap dapat pasokan, tapi bagaimana dengan 73 sektor di belakang. Karena sektor-sektor itu melibatkan tenaga kerja dan keterkaitan dengan sektor lainnya sehingga tidak sesederhana itu.

Bagaimana kondisi atau porsi produk domestik bruto (PDB) dari 73 sektor itu? Ternyata angkanya bisa mencapai 56 persen, sedangkan serapan tenaga kerja terkait hulu migas mencapai 62 persen.

Baca juga: Pertamina Hulu Indonesia klaim mampu turunkan 2,4 juta emisi karbon

Kemudian, sektor pengguna berkontribusi 27,27 persen sehingga jika dijumlahkan hampir 75-80 persen PDB disumbang oleh hulu migas dan terkait serapan tenaga kerja hampir 80 persen.

"Kalau hulu migas tidak mendapat perhatian atau abai karena lebih memperhatikan EBT dan sudah ditinggalkan, maka risiko pada ekonomi nasional cukup signifikan," kata Komaidi.

Kemudian, data juga menunjukkan bahwa konstribusi sektor migas terhadap perekonomian nasional masih memiliki keterkaitan luar biasa terhadap struktur keuangan Indonesia.

Data menunjukkan, dalam lima tahun pada 2015-2020 dari total realisasi investasi, ternyata pada 2015 sekitar 43 miliar dolar AS, migas berkontribusi sekitar 17 miliar dolar AS.

Perbandingan total investasinya besar atau sekitar 27 persen migas terhadap total investasi enam tahun terakhir dan jika khusus hulu migas porsinya 24 persen dari total investasi secara nasional.

Terbukti, satu sektor hulu migas dari 185 sektor di Indonesia, porsi investasi mencapai 24 persen, sisanya 184 sektor lain.

Ekstremnya adalah, jika hulu migas tutup, maka investasi Indonesia hilang 23-24 persen. Jika ini hilang, maka produktifitas nasional akan turun signifikan dan membahayakan struktur ekonomi nasional.

Terkait peran hulu migas ke penerimaan negara di APBN, khususnya untuk perpajakan, secara keseluruhan memang menurun, tetapi kalau lihat nominalnya masih cukup besar.

Rasio perpajakan sektor hulu migas selama ini selalu lebih besar dibandingkan "tax ratio" nasional sektor migas, termasuk dalam aspek kepatuhan pembayaran pajak, lebih tertib dibandingkan sektor lain.

Dari tahun ke tahun, hanya pada 2016 saja beririsan dengan rasio pajak nasional karena harga minyak saat itu anjlok.

Terakhir, dampak ikutan dalam hal pemakaian komponen lokal, sektor hulu migas sudah di atas 50 persen pada 2015, bahkan sempat 68 persen dan kemudian turun ke 55 persen.

Transisi energi
Mencermati perkembangan ini, agaknya pemerintah perlu mempertajam prioritas atau semacam terobosan agar sebelum peralihan secara bertahap EBT  menjadi penyangga energi nasional, diperlukan sebuah langkah transisi.

Transisi ini diperlukan agar, ketika tujuan utama belum tercapai sepenuhnya, pasokan energi nasional tetap terjaga, sekaligus sebagai alternatif jalan keluar ketika di pertengahan jalan terdapat halangan tak terduga.

Pelajaran berharga yang dapat ditarik adalah kejadian krisis energi baru-baru ini di Eropa, khususnya di Inggris, termasuk di China yakni di negara maju yang sudah kuat implementasi EBT-nya, ternyata saat terjadi gangguan, maka mereka kembali memburu energi fosil.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menuturkan, pada awal 2021, cadangan minyak bumi nasional sebesar 4,17 miliar barel dengan cadangan terbukti (proven) sebanyak 2,44 miliar barel, sedangkan data cadangan yang belum terbukti sebesar 2,44 miliar barel.

Kemudian, untuk cadangan gas bumi mencapai 62,4 triliun kaki kubik dengan cadangan terbukti 43,6 triliun kaki kubik.

Baca juga: Pertamina temukan cadangan minyak dan gas bumi di Kepulauan Seribu

Karena itu, patut diapresiasi langkah yang akan ditempuh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, bahwa peranan gas bumi dalam transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan di Indonesia, masih sangat diperlukan.

Penegasan ini disampaikan Menteri Arifin saat menjadi pembicara tamu VIP pada Opening Ceremony-the 2021 Edition of Gastech sesi Ministerial Panel di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Selasa (21/9).

Menteri ESDM Arifin menyebut, optimalisasi pemanfaatan gas dan diiringi pengembangan EBT ramah lingkungan, bertujuan agar dapat mewariskan hidup yang lebih baik kepada generasi muda pada masa mendatang. Untuk itu, pada proses transisinya membutuhkan dukungan pendanaan dan teknologi.
 
Ilustrasi - Kilang minyak Refinery Unit (RU) IV Pertamina (Persero) di Cilacap, Jawa Tengah. (ANTARA/Dokumentasi PT Pertamina (Persero).)


Indonesia memiliki sumber-sumber energi terbarukan yang masih dapat dikembangkan potensinya lebih besar lagi dan diperlukan investor menanamkan investasinya di Indonesia.

Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar, yakni mencapai 417,8 gigawatt (GW). Potensi itu berasal dari arus laut samudera sebesar 17,9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW dan matahari atau surya 207,8 GW.

Energi terbarukan diyakini beberapa kalangan tak akan habis hingga 100 tahun ke depan. Selain itu, perkembangan teknologi akan membuat energi terbarukan menjadi semakin kompetitif. Pemerintah juga menargetkan akan segera menuntaskan sejumlah regulasi di sektor EBT.

Kehadiran regulasi terkait EBT ini dinilai dapat mendorong komitmen pemerintah untuk mengejar pengembangan EBT mencapai 51,6 persen sesuai yang tertuang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EBTKE-ESDM) Dadan Kusdiana, mengungkapkan saat ini ada dua regulasi yang kini masih berproses yakni Peraturan Presiden tentang Harga EBT serta Revisi Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap.

Pihaknya menargetkan dalam waktu cepat regulasi ini bisa segera diterbitkan dan diimplementasikan.

Baca juga: RUU Energi Baru dan Terbarukan diharapkan tidak jadi regulasi mati

Selain itu, pelaku usaha EBT pun kini masih menanti Rancangan Undang-Undang EBT (RUU EBT) yang merupakan inisiasi DPR RI.

Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menyebut saat ini draf RUU EBT dalam proses harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) dan proses ikutannnya yang lain akan menyertai, termasuk bersinergi dengan pemerintah. Target tuntasnya adalah tahun ini.

Akhirnya bisa dikatakan bahwa sampai saat ini sektor hulu migas tidak dapat ditinggalkan begitu saja karena perannya masih sangat strategis meskipun pemerintah sudah mengarah ke EBT.

Peran hulu migas tetap besar sampai setidaknya pada 2050 sehingga sudah selayaknya sektor ini, khususnya pengembangan gas dalam negeri dapat menjadi energi transisi sebelum Indonesia dapat memanfaatkan EBT sepenuhnya.

Baca juga: Percepat pengembangan EBT, pemerintah revisi regulasi
Baca juga: Percepat EBT, pemerintah godok perpres sebagai terobosan regulasi





 

Editor: Riza Harahap
Copyright © ANTARA 2021