Sebagaimana tergambar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mayoritas dikontribusi oleh pendapatan komoditas, hingga Agustus 2021 saja telah mencapai 93,1 persen dari target yang ditetapkan di APBN. ...
Jakarta (ANTARA) - Chief Economist Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat menilai kenaikan harga komoditas unggulan bisa berdampak positif dan menjadi peluang untuk meningkatkan penerimaan negara.

Menurut Budi, meski krisis energi yang melanda berbagai negara di dunia dapat menjadi sentimen negatif bagi pemulihan ekonomi Indonesia, tapi di sisi lain hal itu memberikan peluang besar bagi Indonesia terutama dari sisi penerimaan negara.

"Sebagaimana tergambar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mayoritas dikontribusi oleh pendapatan komoditas, hingga Agustus 2021 saja telah mencapai 93,1 persen dari target yang ditetapkan di APBN. Jika kita dapat memaksimalkan komoditas unggulan kita yang saat ini harganya rally, bukan tidak mungkin pada akhir tahun PNBP kita akan melebihi target Pemerintah. Tentu ini adalah peluang besar yang dapat kita maksimalkan," ujar Budi dalam keterangan di Jakarta, Senin.

Baca juga: BI: Harga komoditas tetap terkendali pada minggu ketiga September

Seperti data yang dihimpun dari Bloomberg, hingga 3 Oktober 2021, harga beberapa komoditas unggulan Indonesia terus menunjukkan tren naik. Secara year to date (ytd), harga batubara telah naik 180,4 persen, timah tumbuh 130 persen, CPO naik 11,4 persen dan nikel naik 31,6 persen.

Jika tren kenaikan harga komoditas berlanjut hingga akhir tahun, serta pemerintah dapat mengoptimalisasi peluang tersebut, bukan tidak mungkin pendapatan negara secara umum di akhir tahun akan mendekati 100 persen bahkan melebihi target yang telah ditetapkan.

Kondisi APBN yang sehat pun akan berdampak positif terhadap rencana pemulihan ekonomi pascapandemi dan supply risk Surat Berharga Negara (SBN) hingga akhir tahun.

Lima besar komoditas penyumbang surplus perdagangan Indonesia, masih didominasi batubara sebesar 13,91 persen disusul base metal product sebesar 13,68 persen, minyak sawit 11,28 persen, produk manufaktur sebesar 7,51 persen dan tekstil dan produk tekstil sebesar 6,41 persen.

Bahana TCW memprediksikan tren kenaikan harga komoditas tersebut dapat bertahan setidaknya hingga akhir tahun. Jika demikian, hal ini akan berdampak positif terhadap APBN Indonesia.

Baca juga: IHSG diprediksi menguat hari ini, ditopang kenaikan harga komoditas

Namun demikian, lanjut Budi, ada beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian terutama bagaimana respon regulator terkait tingkat inflasi yang berpotensi naik sebagai dampak dari supply shock di sektor energi, tenaga kerja maupun bahan baku, atau bahkan dari sisi logistik yang sedang melanda dunia saat ini.

Kondisi perekonomian China ke depan juga patut menjadi perhatian bersama, mengingat eksposur impor bahan baku dari China yang tinggi dibanding negara-negara Eropa.

"Jika harga energi melonjak tinggi akan berdampak pada impor bahan baku dari China yang didominasi oleh produk manufaktur, barang-barang elektronik, besi dan baja untuk infrastruktur, dan lain-lain. Namun, hingga akhir tahun 2021, kami mengasumsikan tingkat inflasi Indonesia akan rendah karena dampak dari kenaikan harga energi dunia masih ditahan oleh subsidi energi baik bahan bakar minyak dan listrik oleh pemerintah," kata Budi.

Baca juga: Pengamat perkirakan "pajak orang kaya" akan tambah penerimaan negara

Krisis energi yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia seiring dengan kembali aktifnya perekonomian pascapandemi COVID-19 dan datangnya musim dingin yang mendorong tingginya permintaan energi. Kelangkaan pasokan dan naiknya harga gas, naiknya tarif listrik, serta sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) menjadi beberapa alasannya. Sementara pasokan komoditas energi terbatas karena produksi belum normal juga akibat pandemi dan faktor cuaca.

Budi menilai, krisis energi yang terjadi adalah lebih kepada supply shock, karena secara umum permintaan masyarakat pascapandemi mulai tumbuh, tapi di sisi lain, rantai pasokan belum siap untuk kembali ke level produksi seperti sebelum pandemi.

Pasokan gas Eropa dari Rusia terganggu, harga batubara di China juga merangkak naik akibat terdampak perselisihan dengan salah satu produsen batubara terbesar yaitu Australia, sementara pasokan dari Indonesia juga terganggu musim hujan dan produsen lokal di China terdampak kebijakan pemerintahnya yang tengah fokus ke energi hijau atau green energy.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021