Ambon (ANTARA) - Pemanasan global yang berkaitan dengan pengerusakan lingkungan dan berdampak pada naiknya suhu rata-rata bumi, menjadi isu penting dalam beberapa tahun belakangan ini. Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change - IPCC) dalam laporan bahkan memperingatkan "kode merah perubahan iklim".

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, juga perubahan jumlah dan pola presipitasi.

Baca juga: DKI targetkan penurunan emisi GRK 35 juta ton pada 2030

Dalam beberapa studi dan penelitian terkait pemanasan global dan dampak perubahan iklim menyebutkan akibat yang ditimbulkan bahkan bisa menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam karena meningkatnya tinggi rata-rata permukaan air laut. Indonesia, tak terkecuali Provinsi Maluku yang secara geografis adalah wilayah kepulauan dengan banyak pulau kecil juga mengalami ancaman yang sama.

Seorang ahli fisika oseanografi Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Fadli dalam wawancara di Ambon, Senin, mengatakan dalam pengamatannya terhadap pemanasan global di Maluku, risiko dan dampaknya sudah nyata terlihat saat ini.

"Wilayah Maluku yang berupa pulau-pulau akan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sebenarnya tanpa disadari banyak masyarakat yang sudah terdampak akibat perubahan iklim," kata dia.

Baca juga: Guru Besar IPB: Sapi berdampak pada pemanasan global

Ia mengatakan, Maluku memiliki pola hujan yang berbeda dibandingkan beberapa wilayah di Indonesia. Pola hujan untuk wilayah Pulau Ambon dan Pulau Seram berbeda dibandingkan dengan bagian Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya. Perubahan iklim akan mengubah pola hujan dan sistem musim, beberapa wilayah akan mengalami peningkatan intensitas hujan dan beberapa wilayah akan mengalami pengurangan intensitas hujan.

Selain cuaca ekstrem, perubahan lain akibat pemanasan global yang terpantau adalah fenomena kenaikan permukaan air laut dari tinggi rata-rata saat purnama dan gelombang ekstrem akan lebih kuat dan lebih sering terjadi, karena perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu air laut akibat peningkatan suhu atmosfer, semakin banyak kandungan panas di laut memicu peningkatan kekuatan angin yang memicu gelombang laut semakin kuat dengan frekuensi yang semakin meningkat.

Gelombang ekstrem merusak ekosistem perairan sebelum menciptakan kondisi ekosistem normal yang baru. Kerusakan ekosistem perairan akan menyebabkan kerusakan lokasi memijah ikan dan berujung pada menurunnya jumlah ikan di suatu area, karena ikan-ikan ini akan mencari wilayah hidup yang baru.

Untuk wilayah Maluku yang dominasi oleh lautan, kata Fadli, gelombang tinggi juga akan membahayakan pelayaran dan masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, selain dampak signifikan di wilayah pesisir, terutama ketika terjadi fenomena naiknya permukaan air laut saat purnama.

Wilayah pesisir yang awalnya tidak merasakan hempasan ombak, akan mengalami hempasan ombak dan rusak karena air laut akan sering masuk jauh ke daratan dan gelombang laut akan pecah lebih dekat dengan daratan. Peristiwa ini juga berujung pada perubahan bentuk garis pantai yang lebih masuk ke arah daratan.

Fenomena tersebut, menurut Fadli, perlu diantisipasi karena menyebabkan pulau-pulau kecil di Maluku yang memiliki ketinggian daratan atau pantai yang rendah terhadap tinggi permukaan air laut maksimum akan rentan untuk tenggelam.

Ia menyarankan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir agar selalu memperhatikan setiap perubahan kondisi yang terjadi di lingkungannya. Jika permukaan air laut sudah tinggi dari sebelumnya maka segera melakukan penanaman bakau untuk menahan laju kerusakan garis pantai akibat gelombang tinggi.

Tetapi jika kerusakan garis pantai sudah parah maka masyarakat di sekitarnya harus berpindah tempat dan menanam bakau, lamun juga terumbu karang di pesisir, guna mengurangi dampak kenaikan permukaan air laut dan gelombang ekstrem.

"Penelitian sudah membuktikan bahwa perubahan iklim adalah hal yang nyata dan sudah terjadi. Suhu rata-rata bumi tidak boleh naik melebihi dua derajat celcius dari keadaan normal. Kita harus berusaha menekan laju kenaikan suhu bumi," ujar Fadli.


Variabilitas iklim dan dampak pada fenomena bencana di Maluku

Dalam setahun terakhir ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku mencatat sejak awal tahun telah terjadi beberapa peristiwa bencana yang dipicu oleh perubahan cuaca ekstrem. Pemerintah setempat bahkan pernah menetapkan Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Buru dan Seram Bagian Timur bahkan berstatus darurat bencana.

Penetapan status darurat bencana berdasarkan SK Gubernur Maluku Murad Ismail pada 13 Juli 2021, karena banjir parah dan tanah longsor terjadi saat intensitas curah hujan meninggi juga menyebabkan jalan dan beberapa rumah rusak di empat wilayah tersebut.

Efek dari perubahan cuaca dan intensitas hujan yang tidak menentu dan terus terjadi dalam setahun terakhir cukup mengkhawatirkan masyarakat, terutama mereka yang berada di wilayah bantaran kali dan sungai.

Kepala Stasiun Klimatologi Seram Bagian Barat Bernadus Daniel mengatakan tingginya intensitas curah hujan yang terjadi di wilayah Maluku setahun ini dipengaruhi oleh kejadian La Nina, fenomena alam yang menyebabkan udara terasa lebih dingin atau mengalami curah hujan yang lebih tinggi.

Baca juga: Responsif perubahan iklim, MedcoEnergi komitmen hasilkan energi hijau

La Nina merupakan salah satu variabilitas iklim atau pengendali iklim global yang mempengaruhi perubahan cuaca di suatu wilayah, termasuk di Provinsi Maluku. Kejadian La Nina juga mengakibatkan hujan lebih sering terjadi dari biasanya.

Kejadian La Nina dan perubahan-perubahan cuaca, juga adanya gelombang tinggi rutin diinformasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), agar masyarakat bisa mengantisipasi bahaya dan bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu akibat fenomena alam dan cuaca.

"Dalam pengamatan kami dan pencatatan berdasarkan data yang ada, yang terjadi saat ini adalah variabilitas iklim, pergerakan dari normalnya maju dan mundur, semuanya dipengaruhi oleh pengendali iklim La Nina, sehingga tahun ini kebanyakan hujan," kata dia.

Dikatakannya lagi, kejadian La Nina merupakan fenomena normal dalam klimatologi. Perubahan periode dari La Nina ke periode netral memiliki jangka waktu tertentu. Ia mencontohkan perpindahan dari periode netral ke La Nina bisa terjadi dalam tujuh tahun, tapi dengan adanya pemanasan global, perubahan pengulangan satu periode terjadi lebih cepat dari biasanya dan peluang cuaca ektrem akan lebih sering terjadi.

Hal yang sama juga terjadi pada pengendali iklim El Nino, fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur yang menyebabkan musim panas lebih lama dari biasanya. Kejadian ini menyebabkan Indonesia terjadi kemarau panjang dan sebagian wilayah kesulitan air pada 2015-2016.

"Jika dulu para ahli mengatakan periode pengulangan ulang El Nino dan El Nina ​​​​terjadi tiap tujuh tahun, tapi dengan adanya pemanasan global, maka kejadiannya terjadi lebih cepat, dua atau tiga tahun sudah ada pengulangan," ucap dia.

Menurut prediksi dari pengamatan Stasiun Klimatologi, tahun 2022 bumi akan memasuki periode netral. Perubahan-perubahan signifikan akan terlihat pada awal bulan-bulan pertama tahun 2022. Kendati demikian, perubahan cuaca harus selalu diantisipasi karena cuaca bersifat dinamis dan bisa berubah kapan saja.

"Dari proyeksi yang kita amati dari sekarang, tahun 2022 akan berubah menjadi netral, di bulan-bulan awal tahun akan ada perubahan-perubahan signifikan. Tapi masih akan kita amati lagi untuk penilaian ulang karena cuaca sangat dinamis, perubahannya bisa sangat tepat tapi bisa juga berubah tiba-tiba," ucap Bernadus Daniel.


Respon dan antisipasi pemanasan global

"Mengendalikan lingkungan dari bahaya kerusakan, adalah salah satu cara efektif untuk bagaimana kita melindungi bumi dari efek pemanasan global secara berlanjut dan berdampak pada perubahan iklim," kata Koordinator Beta Bank Sampah Georgie Manuhuwa.

Beta Bank Sampah merupakan komunitas lingkungan hidup di Kota Ambon. Sejak tahun 2017 mereka aktif mengkampanyekan perlindungan lingkungan dan menggerakkan masyarakat untuk ikut membuat perubahan dalam menghadapi pemanasan global, salah satunya adalah daur ulang sampah plastik guna mengurangi produksi sampah ke lingkungan.

Baru-baru ini Beta Bank Sampah mengerjakan proyek Kertas Beta, yakni program mendaur ulang sampah kertas dengan cara manual dan sederhana agar bisa digunakan kembali. Hasil dari proyek daur ulang tersebut dibagikan gratis kepada masyarakat, di antaranya rumah baca, Taman Kanak-Kanak (TK), Pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kelompok-kelompok belajar.

Menurut Georgie, pemanasan global diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Selain emisi karbon, sampah yang tidak tertangani, penebangan hutan secara masif juga menjadi penyebab utama lubang lapisan ozon semakin membesar dan berdampak pada perubahan iklim.

Baca juga: BMKG minta pemda serius atasi perubahan iklim

Karena itu, masyarakat perlu menyadari dampak yang terjadi, dengan begitu ada perubahan pola pikir untuk ikut melindungi bumi dan bisa ikut membuat perubahan mulai dari hal-hal kecil, salah satunya adalah diet penggunaan plastik yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan laut.

Ia mencontohkan, satu sedotan plastik yang terbuang ke laut bisa membunuh seekor penyu, sehingga penggunaannya perlu dikendalikan agar dampak buruk yang dihasilkan juga semakin kecil.

"Menyadari kalau kita sedang dalam bahaya pemanasan global menjadi kunci penting meningkatkan kesadaran bersama. Untuk membuat perubahan besar, respon harus dimulai dari hal-hal kecil," ucap dia.

Senada dengan Georgie, Peneliti P2LD LIPI Muhammad Fadli mengatakan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim harus sesuai dengan karakteristik wilayah Maluku. Sebagai daerah yang 92,4 persen adalah laut, maka menjaga laut adalah solusi terbaik saat ini.

"50 persen oksigen di muka bumi ini dihasilkan dari lautan sehingga menjaga lautan adalah solusi terbaik yang kita punya saat ini. Penyerap karbon (CO2) terbanyak di muka bumi ini juga berasal dari lautan dari mikroorganisme yang ada di lautan," katanya.

Menurut Fadli, penelitian terkait iklim harus terus dilanjutkan penelitian terkait bagaimana melakukan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim, sebab dampaknya sudah sangat nyata secara global dan perlu untuk segera diantisipasi. Maluku juga perlu melakukan perubahan untuk perlindungan terhadap wilayahnya.

Masyarakat, kata dia, perlu menjaga kebersihan laut dari limbah rumah tangga dan sampah plastik. Penanaman pohon bakau, lamun dan transplantasi terumbu karang yang rusak juga perlu dilakukan agar ekosistem laut tetap terjaga dan produksi oksigen tetap stabil.

Seiring dengan itu, program penghijauan di kawasan dataran tinggi juga perlu digalakkan. Hutan-hutan harus kembali dihijaukan dan lahan-lahan serapan air juga harus tetap terjaga sehingga tidak berdampak pada bencana alam, seperti tanah longsor saat cuaca ektrem terjadi.

Upaya membuat perubahan baru dalam menghadapi bencana pemanasan global akan melindungi masyarakat dari dampak yang dihasilkan, terutama mereka yang berada di pulau-pulau kecil dan rentan terhadap risiko pemanasan global dan perubahan iklim.

"Adaptasi dan Mitigasi sesuai dengan karakteristik wilayah Maluku sangat perlu dilakukan karena sifat dan karakter orang Maluku adalah potensi yang perlu digali dan pahami agar skema adaptasi dan mitigasi menjadi tetap sasaran dan efisien," ujar Muhammad Fadli.

Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2021