Hong Kong (ANTARA) - Yen merosot mencapai level terendah baru tiga tahun pada Selasa pagi, memperpanjang penurunan tajam karena para pedagang bertaruh lonjakan harga energi akan mendorong permintaan dolar di Jepang dan ketika mereka melipatgandakan ekspektasi suku bunga AS akan naik mendahului rekan-rekannya.

Yen melanjutkan kerugiannya setelah sesi terburuknya terhadap dolar dalam lima bulan, turun 0,1 persen lagi menjadi 113,48 per dolar di awal perdagangan Asia, terlemah sejak Desember 2018, setelah turun 1,0 persen pada Senin (11/10/2021).

Pelemahan mata uang Jepang membantu dolar tetap kuat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya, meskipun dolar Aussie telah naik karena lonjakan harga energi dan kenaikan bijih besi.

Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya, berada di 94,4, tidak jauh dari tertinggi satu tahun di 94,504 yang disentuh pada akhir September.

"Apa yang kami lihat di pasar mata uang adalah kombinasi dari prospek Federal Reserve - sebagian besar pasar memperkirakan pengumuman tapering pada November - dan apa yang terjadi dengan komoditas dengan reli yang cukup luas saat ini," kata Kim Mundy, ahli strategi mata uang dan ekonom senior di Commonwealth Bank of Australia.

Dia mengatakan faktor-faktor ini mempengaruhi yen, karena Jepang adalah importir energi bersih “dan lonjakan harga energi secara efektif merupakan pajak atas konsumsi” dan karena “mengulangi fakta bahwa bank sentral Jepang (BoJ) mungkin akan menjadi salah satu bank sentral besar terakhir yang mempertimbangkan untuk mengurangi kebijakan moneter ultra akomodatif.”

Harga-harga grosir Jepang melonjak 6,3 persen pada September dari tahun sebelumnya karena biaya bahan baku terus meningkat, data yang diterbitkan Selasa menunjukkan.

Yen juga sensitif terhadap kenaikan imbal hasil AS, karena suku bunga di dalam negeri berlabuh mendekati nol. Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun yang jadi acuan memperpanjang kenaikan pada Selasa dan, pada 1,6136 persen adalah yang tertinggi sejak Juni dan naik 30 basis poin dalam tiga minggu.

Pada Senin (11/10/2021), minyak mentah AS menyentuh 82,18 dolar AS per barel, tertinggi sejak akhir 2014, dan minyak mentah Brent mencapai level tertinggi tiga tahun.

Dengan harga komoditas lain yang juga menguat, dolar Aussie tetap kokoh di 0,7342 dolar AS, sehari setelah mencapai level tertinggi sebulan.

Dampak inflasi dari kenaikan harga energi telah memperkuat kasus bagi Federal Reserve AS untuk mengumumkan pengurangan program pembelian obligasi besar-besaran pada November, meningkatkan kemungkinan kenaikan suku bunga pada akhir 2022, meskipun data pekerjaan yang diterbitkan Jumat (8/10/2021) lalu meleset dari ekspektasi.

Kekhawatiran tentang harga juga ada di benak para pembuat kebijakan di bank sentral lainnya, dengan bank sentral Inggris (BoE) mengisyaratkan akan menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi, mendukung sterling bahkan ketika ekonomi Inggris bergulat dengan biaya energi yang tinggi.

Pound naik ke level tertinggi dua minggu di 1,3673 dolar AS pada Senin (11/10/2021) sebelum turun sedikit ke posisi terakhir di 1,3586 dolar AS.

Namun euro tetap terjepit di dekat level terendah dalam setahun, dikutip 1,1550 dolar AS. Won Korea Selatan turun menjadi 1.200 per dolar untuk pertama kalinya dalam 14 bulan setelah bank sentral Korea mempertahankan suku bunga stabil, mengambil jeda setelah naik pada Agustus.

Di pasar uang kripto, Bitcoin turun dari level tertinggi lima bulan, jatuh sekitar 1,0 persen di perdagangan Asia menjadi 56.800 dolar AS. Ether, uang kripto terbesar kedua di dunia turun 1,54 persen menjadi 3.489 dolar AS.

Baca juga: Investor cari mata uang aman, dolar menguat dan melonjak terhadap yen
Baca juga: Utang negara miskin naik 12 persen jadi 860 miliar dolar AS pada 2020
Baca juga: Emas tergelincir lagi karena reli dolar lampaui kekhawatiran stagflasi

 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021