Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Benny Riyanto mengatakan bahwa penetapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 merupakan langkah pemerintah untuk merealisasikan program reformasi hukum.

Benny dalam seminar nasional yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube DJHAM, Selasa.​​​​​​, mengatakan Kemenkumham yang mewakili pemerintah berhasil merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjadi UU No. 15 Tahun 2019 bersama DPR, dan memasukkan fungsi evaluasi, dalam UU disebut sebagai fungsi Pemantauan dan Peninjauan, sebagai langkah dari realisasi reformasi hukum.

“Amanah untuk melakukan evaluasi regulasi atau review terhadap seluruh regulasi termuat di dalam program bernama reformasi hukum,” ucap dia.

Sebelum pemerintah dan DPR melakukan revisi UU No. 12 Tahun 2011, pembentukan regulasi hanya terdiri atas lima fase, yaitu Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan dan Persetujuan, Pengesahan atau Penetapan, dan Pengundangan.

“UU yang dilahirkan (melalui proses ini, red.) masih berpotensi menimbulkan penyakit regulasi, seperti tumpang tindih, kontradiktif, obesitas hukum, dan lain sebagainya,” kata Benny.

Terdapat enam kondisi regulasi yang hendak diubah oleh pemerintah, yakni kondisi hiperregulasi, disharmoni, multi interpretasi, tidak efektif, biaya tinggi, hingga kondisi regulasi yang kurang berjiwa Pancasila.

Baca juga: Wapres minta Kemenkumham mereformasi legislasi dan regulasi

Oleh karena itu, setelah mengalami perubahan, jumlah fase proses pembentukan regulasi bertambah menjadi enam fase dengan penambahan fase Pemantauan dan Peninjauan setelah fase Pengundangan.

Penambahan fase Pemantauan dan Peninjauan, kata Benny, merupakan wujud penyempurnaan siklus regulasi guna mendukung program reformasi hukum yang diusung oleh Presiden Joko Widodo.

“Supaya setelah regulasi itu diundangkan dan diimplementasikan, masih ada mekanisme untuk memfilter regulasi itu,” ucap dia.

Terdapat enam dimensi yang menjadi pedoman mengevaluasi peraturan perundang-undangan. Dimensi utama adalah Pancasila, kemudian diikuti dengan dimensi ketepatan jenis peraturan perundang-undangan, dimensi potensi disharmoni pengaturan, dimensi kejelasan rumusan, dimensi kesesuaian norma dengan asas materi muatan, serta dimensi efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

“Dari enam dimensi ini akan menghasilkan tiga rekomendasi,” kata Benny.

Ketiga rekomendasi tersebut adalah tetap menggunakan regulasi, mengubah regulasi, dan mencabut regulasi.

Baca juga: Widodo: Tantangan Kemenkumham sinkronkan UU lebih berat dibanding MK

Apabila pemerintah menilai implementasi regulasi tidak menemui masalah, maka pemerintah akan merekomendasikan regulasi untuk tetap digunakan.

Kemudian, apabila regulasi berbenturan dengan beberapa prinsip enam dimensi, maka ada kemungkinan rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah adalah mengubah dan merevisi regulasi tersebut.

“Apabila regulasi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai sebuah dimensi utama, atau berbenturan dengan banyak dimensi yang lain, pasti (regulasi terkait, red.) disarankan untuk dicabut,” ucap Benny.

Adapun yang akan melakukan evaluasi hukum adalah Pejabat Fungsional Analis Hukum yang merupakan PNS yang mengemban tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan analisis dan evaluasi hukum.

“UU No. 15 Tahun 2019 melahirkan jabatan fungsional baru sebagai Analis Hukum. Sudah kami legalkan dengan mengajukan (jabatan ini, red.) kepada Kemenpan RB,” kata Benny.

Baca juga: Pengujian UU Hortikultura bukan persoalan konstitusional

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021