Jakarta (ANTARA) - Direktur Ilmu Komunikasi dan Penelitian dari Johns Hopkins Center for Communication Programs, Douglas Storey mengatakan minat masyarakat Indonesia terhadap kegiatan vaksinasi cukup tinggi.

“Lebih banyak yang menyatakan pasti atau lebih mungkin divaksin sekitar 67 persen dibandingkan mereka yang melaporkan tidak akan divaksin,” kata Douglas dalam webinar Urgensi Percepatan Vaksinasi Kelompok Rentan, Antisipasi Gelombang Ketiga COVID-19 yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Data tersebut, dikumpulkan bersama sejumlah pihak, seperti Universitas Maryland dan Universtas Carnegie Mellon, setelah melakukan survei yang disesuaikan dengan usia pada Mei hingga September lalu melalui akun Facebook kepada para pengguna Facebook secara random.

Baca juga: Survey John Hopkins: 40 persen lansia Indonesia tidak mau divaksin

Douglas menuturkan berdasarkan data dashboard yang dimiliki, dalam waktu lima bulan terakhir persentase masyarakat yang berusaha mendapatkan vaksin juga semakin bertambah.

Ia memberikan contoh pada bulan September sebesar 33 persen masyarakat Indonesia berusaha untuk mendapatkan vaksin. “Ini dari responden yang belum divaksin, jadi masih banyak yang mencoba dapat vaksin itu. Ini adalah hal yang bagus,” ujar Douglas.

Walaupun minat masyarakat terhadap vaksinasi di Indonesia tinggi, Douglas berharap pemerintah dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat lebih berfokus pada bagaimana cara vaksin bekerja dan testimoni vaksinasi mengingat masih ada masyarakat yang ragu untuk divaksinasi.

“Jadi, implikasinya penyampaian pesan perlu difokuskan pada keamanan vaksin yang telah terbukti dan efek samping akibat COVID-19,” kata dia.

Direktur Projek MyChoice dari Johns Hopkins Center for Communication Programs, Yunita Wahyuningrum mengatakan meskipun minat vaksinasi di Indonesia terbilang tinggi, masyarakat masih sering abai terhadap protokol kesehatan.

“Kalau kita melihat data (dashboard) di sini, level tingkat persepsi orang terhadap bahaya dari COVID-19 di Indonesia relatif lebih rendah, dibandingkan negara-negara lain,” kata Yunita.

Berdasarkan data yang ia miliki, rendahnya persepsi tersebut, karena 78 persen orang yakin bahwa semua orang sudah menggunakan masker dan 75 persen orang yakin bahwa hampir semua atau kebanyakan orang sekarang sudah divaksinasi.

Lebih lanjut, dia mengatakan masyarakat yang menjaga jarak dan menghindari kontak masih rendah, sehingga diperlukan sebuah upaya agar hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan baru dalam norma di masyarakat.

Baca juga: Indonesia sumbang 1,12 persen kasus COVID-19 dunia

Baca juga: John Hopkins: Kasus global virus corona capai 1 juta


“Masih cukup rendah menjaga jarak, kemudian menghindari kontak. Ini yang nampaknya masih perlu menjadi bagian upaya kita untuk menjadikan norma sosial, karena menjaga jarak juga menjadi bagian dari tindakan pencegahan,” ujar dia.

Yunita menjelaskan untuk mengubah perilaku tersebut, selain menginformasikan soal vaksinasi, pemerintah sebagai sumber yang dipercaya publik perlu memberikan informasi terkait hal-hal lain yang tidak hanya sebatas pandemi atau COVID-19 saja.

Informasi-informasi itu, kata dia, dapat menarik perhatian masyarakat untuk lebih peduli pada kesehatan, misalnya ekonomi atau kesehatan mental yang terdampak akibat COVID-19.

“Lingkaran yang menunjukkan topik yang sekarang ingin diketahui orang terkait dengan masa pandemi ini adalah dampak ekonomi. Masalah ekonomi menjadi informasi yang dianggap penting oleh audiensi kita, misalnya  dampak ekonomi dan  yang ingin diketahui (soal) mental health,” ucap dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021