Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyampaikan untuk mereduksi dan melawan propaganda kelompok khilafah, umat beragama di Indonesia wajib menaati perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa, tokoh bangsa, alim ulama dan tokoh agama.

"Menjadi kewajiban kita semua umat beragama di Indonesia menaati perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan. Artinya itu wajib ain. Kita semua wajib menaati perjanjian dalam berbangsa dan bernegara dalam bentuk konsensus nasional yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45 atau PBNU. Itu wajib," kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

Dia menyebut bahwa dalam index potensi radikalisme di Indonesia masih ada sekitar 12,2 persen yang masuk dalam kategori OTG (orang tanpa gejala) yang terpapar radikalisme. Indikatornya mereka ini anti-Pancasila dan pro khilafah.

Untuk itu, kata Ahmad Nurwakhid, kalau ada orang atau kelompok yang menggelorakan khilafah dan daulah, itu haram hukumnya di Indonesia karena itu sama saja melanggar konsensus nasional. Apalagi tokoh-tokoh yang membuat perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan itu sudah wafat semuanya.

Baca juga: Boy Rafli: Densus 88 dibutuhkan dalam penegakan hukum terorisme
Baca juga: BNPT ajak waspadai ideologi terorisme berkaitan dengan agama
Baca juga: Kepala BNPT sebut Bom Bali I sejarah kelam bangsa Indonesia


"Secara hukum siapa yang bisa membatalkan perjanjian, para pihak yang bersepakat, yang sekarang sudah wafat? Silakan kalau mau diubah ke alam barzah sana. Artinya apa Pancasila NKRI harga mati. Dan siapapun yang melanggar perjanjian itu hukumnya jahiliyah, haram," kata Nurwakhid, saat menjadi narasumber Diskusi Kebangsaan Membangun Harmoni Bangsa Bersama BNPT di Balai Desa Banjar Rejo, Kecamatan Batang Hari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, Kamis (14/10).

Mantan Kabagops Densus 88 ini mengajak seluruh hadirin untuk benar memahami makna tauhid. Ini penting agar umat beragama tidak mudah terpecah belah oleh politik adu domba kelompok radikal dan pengusung khilafah. Ia yakin bila umat beragama memahami tauhid, maka bangsa Indonesia akan imun dari radikalisme.

"Jadi Tuhan di alam semesta itu zatnya satu, namanya beda-beda, cara nyembahnya beda-beda, kalau beda, gak boleh disamakan. Itu namanya lakum diinukum waliyadiin. Artinya bagimu agamamu bagiku agamaku," jelasnya.

Selain itu, ia juga meluruskan makna ukhuwah Islamiyah. Makna ini harus diluruskan karena bila pemahamannya salah justru maknanya menjadi radikal dan takfiri.

“Ukhuwah Islamiyah jangan diartikan persaudaraan sesama umat Islam, tapi persaudaraan secara Islami,” tegasnya.

Nurwakhid menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam sejatinya fitnah bagi Islam. Pasalnya ideologi takfiri, agenda dan tindakan bertentangan dengan nilai islam yang rahmatan lil alamin yang mewajibakan toleransi, kasih sayang, akhlakul karimah, dan taat serta patuh kepada pemerintah yang sah.

"Radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama adalah musuh agama dan musuh negara," kata Ahmad.

Ia menegaskan radikalisme adalah musuh semua agama dan tidak ada kaitannya tindakan terorisme dengan agama apapun. Namun, terorisme terkait dengan pemahaman dengan pemahaman dan cara beragama umatnya.

"Yakinlah radikalisme mengatasnamakan Islam adalah fitnah bagi Islam, adalah proxy untuk menghancurkan Islam dan untuk menghancurkan NKRI. Maka harus menjadi musuh kita bersama. Kita harus bersatu dan melawan bersama-sama," kata Ahmad Nurwakhid.

Ia pun mengajak masyarakat untuk ikut mewaspadai atau mendeteksi gejala radikalisme di masyarakat.

Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua, jadi perbedaan dan keragaman Indonesia itu adalah keniscayaan. Perbedaan itu justru harus jadikan kekuatan dalam persatuan. Karena itu, bangsa Indonesia yang beragama itu wajib mencintai tanah air dan bangsanya.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021