Denpasar (ANTARA News) - Tari gandrung, sebuah tari pergaulan yang hidup dan berkembang di Banyuwangi, Jawa Timur hingga sekarang, sebenarnya juga terdapat dan berkembang di Lombok dan Bali.

"Di Bali, tari gandrung itu kini lebih dikenal dengan tari `joged muani`, yang juga mengemban misi sebagai tari pergaulan yang cukup digandrungi anak-anak muda," kata Kadek Suartaya SKar, MSi, dosen Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, kemarin.

Ia mengatakan, tari pergaulan di Banyuwangi, Bali dan Sasak, Lombok itu memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing.

Di Banyuwangi tari gandrung hingga kini masih menunjukkan plah tingkah penari yang bernuansa kemesraan, sedangkan di Lombok berlenggang-lenggok riang. Untuk di Bali, selain menarinya begitu atraktif, juga bergoyang pantat dengan sorot mata "menantang".

Namun demikian, kata dia, di Bali kini tidak banyak lagi ditemukan seni `joged` yang penarinya adalah kaum lelaki itu.

Suartaya yang sering memperkuat tim kesenian Bali untuk mengadakan pentas ke mancanegara menambahkan, seni pertunjukan sejenis gandrung sesungguhnya juga banyak dijumpai di sejumlah daerah di Nusantara.

"Kesenian itu masih satu `genre` dengan ketuktilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali," ucapnya.

Bila gandrung dibawakan oleh lelaki, joged bumbung di Bali tampil dengan penari wanita yang kemudian berjoget berpasangan dengan penari pria yang muncul dari kalangan penonton pertunjukan.

"Jadi, seorang wanita penari profesional, menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik gamelan `gerantang` yang terbuat dari bilah bambu," tutur Suartaya.

Penampilannya senantiasa disertai unsur-unsur erotisme seperti juga dalam tari ronggeng di Jawa Barat.

Pada masa lalu, penari gandrung memang banyak mengundang debar asmara kaum pria, padahal para penari gandrung itu sendiri adalah laki-laki.

Di Banyuwangi kesenian gandrung pada awalnya dilakoni oleh kaum pria, setidaknya hingga tahun 1890-an. Baru pada tahun 1914 penari wanita dihadirkan setelah kematian penari pria terakhir, Marsam.

Penari gandrung wanita pertama Banyuwangi bernama Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan, yang kemudian berkaul, jika sembuh akan menjadi penari gandrung.

Berbeda dengan di Banyuwangi, di Bali hingga kini tari gandrung masih dibawakan penari laki-laki. Salah satu grup seni pertunjukan gandrung yang masih bertahan adalah Sekaa Gandrung Banjar Ketapian Kelod, Denpasar, yang masih mempertahankan penari pria.

Kesenian gandrung yang disakralkan oleh komunitasnya itu lebih menampilkan diri sebagai presentasi estetik. Melalui iringan musik bambu yang disebut gerantang, gandrung Bali menyuguhkan raga keindahan tari yang lazim dijumpai dalam tari klasik legong keraton.

Suartaya menambahkan, seperti halnya di Banyuwangi, diduga kuat tari gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria.

Gandrung Lombok yang kini lazim dibawakan kaum wanita itu masih eksis sebagai sajian yang menampakkan karakter tari Bali dan Banyuwangi.

Nuansa Bali tampak kental pada tata tarinya yang sebagaian besar memakai perbendaharaan gerak tari tradisional Bali. Unsur Banyuwangi dihadirkan dalam balutan busana, khususnya pada gelungan atau tutup kepala penarinya.

Struktur penyajian gandrung Lombok adalah bapangan, tangis, penepekan, dan pengibingan. Pada bagian pengibingan, penonton pria masuk ke arena pentas berpasangan dengan sang penari.

Urut-urutan penampilan gandrung Lombok tersebut hampir sama dengan tari joged bumbung di Bali, di mana bagian terakhir, pengibingan, yang paling ditunggu-tunggu partisipan pria dan penonton pada umumnya, ujar Kadek Suartaya.(*)

(T.I006/P004)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011