Jakarta (ANTARA) - Wastra nusantara termasuk Ulos yang menjadi kain khas masyarakat Batak terus diupayakan pelestariannya termasuk menjadikannya sebagai bagian dari produk fesyen yang penuh dengan warna.

Hal ini tak lepas dari usaha meningkatkan kemampuan para penenun termasuk dalam merancang kain hingga menjadi produk fesyen, menurut Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari.

"Selain skill menenun ditingkatkan, juga kemampuan mereka mendesain kain tenun menjadi barang fesyen atau barang fesyen yang dikombinasikan sehingga colorfull," kata dia dalam konferensi pers daring memperingati Hari Ulos Nasional 2021 bertajuk "Bangga Bertenun Bangga Berbudaya," dikutip Sabtu.

Baca juga: Wastra lebih dari sekadar kain

Baca juga: "Aku dan Kain", perjalanan Oscar Lawalata mencari wastra Nusantara


Menurut Dita, para penenun yang sudah bergelut menjalani profesinya sejak lama juga perlu mendapatkan pengakuan salah satunya melalui pemberian sertifikasi.

Indonesia saat ini sudah memiliki standar kompetensi kerja nasional khusus bidang tenun tradisional. Dengan standar ini, maka ada bekal dalam pembuatan program pelatihan hingga pengembangan instruktur latih.

Nantinya, mereka yang sudah mendapatkan sertifikasi sebagai instruktur bisa melakukan pelatihan di manapun. Di sisi lain, peluang melatih calon penenun maupun peningkatan kemampuan penenun yang sudah eksis juga menjadi terbuka lebar.

Tak hanya perkara kemampuan menenun, Dita juga menilai pentingnya bantuan dari sisi pembiayaan dan pendampingan agar para penenun bisa lebih mandiri dan memiliki daya tawar terhadap para tengkulak atau kerap disebut tauke. Dia menyadari, para penenun kerap tercekik bunga yang sangat tinggi.

Tantangan yang dihadapi para penenun juga disadari pemerintah daerah, salah satunya Pemerintah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Bupati Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, Eddy Keleng Ate Berutu mengatakan, bergantungnya para penenun pada penyuplai dana dengan tawaran bunga sangat tinggi menyebabkan ekonomi mereka tidak bisa bertumbuh. Dari sisi pemasaran, ketergantungan pada tauke membuat penenun tidak berdaya menunjukkan daya tawar.

Menurut Eddy, pemerintah daerah sebenarnya berupaya mendorong dan meningkatkan keberlangsungan industri kerajinan dan kreatif, termasuk pelestarian dan pengembangan Ulos melalui berbagai strategi antara lain pemberian stimulus kepada UMKM dan Koperasi, pelatihan dan pendampingan bagi UMKM untuk peningkatan kualitas produksi dan pemasaran.
Ilustrasi - Para wanita menenun Ulos. ANTARA/HO-Tobatenun/aa. (Handout Tobatenun)

Pelestarian berbasis komunitas

Selaras dengan upaya pelestarian Ulos, Kementerian Ketenagakerjaan bekerja sama Tobatenun sebagai mitra strategis untuk memberdayakan para penenun Ulos, salah satunya di Toba.

“Kerja sama antara Kemnaker dengan Tobatenun ini adalah perwujudan dari program perluasan kesempatan kerja yang dimiliki Kemnaker untuk melatih, membina dan manajemen pemasaran para perajin ulos di sekitar danau Toba,” tutur Dita.

Dia mengatakan, Kemenaker bersama Tobatenun merancang roadmap usaha yang dapat menguntungkan dan memberikan dampak kesejahteraan kepada UMKM Ulos.

Founder & CEO Tobatenun, Kerri Na Basaria mengatakan, pelaku dan perajin yang seringkali terlupakan dalam pelestarian budaya. Padahal, menurut dia, upaya pelestarian budaya harus jalan bersamaan dengan upaya perubahan sosial dan pemahaman keseimbangan antara modernisasi dan budaya diperlukan untuk kebaikan di masa depan.

Hanya saja, dia menyadari, sebenarnya masih ada tantangan yang dihadapi para pelaku dan penenun ini, mulai dari kemiskinan, eksploitasi oleh pengepul, tidak menerima upah layak dan banyaknya isu sosial yang kompleks yang datang dari kemiskinan.

Dia kemudian bersama para mitranya berusaha membuka peluang melalui sebuah wadah pelatihan yang juga menjadi sarana pembelajaran dan pendidikan bagi penenun yang kurang mempunyai kesempatan, sekaligus mendampingi mereka sehingga diharapkan berujung pada suatu community development yang sehat atau tidak bersifat eksploitatif.

Dari sisi produksi Ulos, Kerri berfokus pada revitalisasi budaya wastra ke akarnya, menggunakan material alam, serat, pewarnaan maupun teknik yang menurut dia saat ini sudah banyak hilang dan hampir punah.

“Kami mendorong digunakannya pembuatan tenun yang bertanggung jawab pada lingkungan dan pembuatan ramah lingkungan yang mengutamakan prinsip berkelanjutan,” tutur dia.

Lebih lanjut, menyadari potensi Ulos untuk dapat bersaing di pasar nasional maupun mancanegara, Kerri bersama Tobatenun memperkenalkan Ulos ke pasar internasional melalui partisipasinya dalam TENUN Fashion Week yang diselenggarakan secara virtual pada 15-17 Oktober 2021. Pagelaran ini dijadwalkan menampilkan 45 komunitas tenun yang berpartisipasi dari Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam.

Dalam TENUN Fashion Week, Tobatenun menghadirkan dua lini produknya yaitu Tobatenun dan BORU. Mereka menampilkan koleksi revitalisasi ulos lawas yang juga menjadi koleksi pertama untuk distribusi di platform yang hadir dalam motif Ragi Hotang, Ragi Idup, dan Tumtuman.

Sementara untuk produk Boru, Tobatenun menampilkan koleksi ready to wear “Sindar” yang merupakan hasil kerja sama desainer muda dan berbagai UKM dan pengrajin dari Siantar, Yogyakarta, dan Jepara.

Kerri mengaku optimistis wastra nusatara termasuk Ulos bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa dinikmati pasar yang lebih luas seiring semakin banyaknya pihak yang terlibat dalam pelestarian dan pengembangan ekosistemnya.

“Kami pun berharap upaya kami dalam memberdayakan perajin dan berbagai aktivitas sosial lain dapat memberikan dampak yang luas bagi para penenun untuk memberikan harapan bagi mereka mendapatkan masa depan yang lebih baik,” demikian kata dia.

Baca juga: Gaet pasar dunia, busana kain tradisional perlu berselera global

Baca juga: Proses pembuatan kain tradisional perlu dilestarikan dan diwariskan

Baca juga: Masyarakat diajak rawat tradisi melalui fesyen dengan bersarung

 

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021