Jakarta (ANTARA) - Kanker kepala dan leher yang bersifat ganas, dampaknya dapat mengubah bentuk wajah secara fisik baik karena perkembangan kankernya sendiri maupun akibat tindakan pengobatan, demikian Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi Onkologi Medik, dr. Rismauli Doloksaribu, Sp.PD-KHOM, FINASIM. ​​​​​

Kanker kepala dan leher merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sejumlah tumor ganas yang berkembang di dalam atau di sekitar tenggorokan, laring (kotak suara), hidung, amandel, sinus, dan mulut.

Baca juga: 80 persen wanita salah pilih ukuran bra

"Pasien akan mendapatkan keluhan berupa gangguan menelan, makan, bahkan gangguan berbicara. Oleh sebab itu masyarakat perlu mewaspadai penyebab kanker kepala dan leher agar terhindar dari penyakit yang mematikan ini," ujar dr. Rismauli dikutip siaran pers Yayasan Kanker Indonesia pada Selasa.

Kanker leher dan kepala biasanya ditemukan pada mereka yang berusia di atas 50 tahun, dan dua kali lebih banyak ditemukan pada pria. Adapun faktor risiko terbesar adalah kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol.

Seseorang yang memiliki kebiasaan merokok dan minum minuman keras secara bersamaan memiliki risiko yang lebih tinggi terkena kanker kepala dan leher. Selain itu, orang yang terinfeksi oleh human papillomavirus (HPV) atau infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, juga dapat berakibat pada kanker kepala dan leher.

Faktor risiko lainnya meliputi paparan matahari yang berkepanjangan, virus Epstein-Barr, virus Human Immunodefeciency Virus (HIV), kurang menjaga kebersihan mulut dan gigi, inhalasia zat-zat toksik di lingkungan/ pekerjaan, dan malnutrisi.

Baca juga: Dokter ingatkan pentingnya skrining dan deteksi dini kanker payudara

Tanda dan gejala

dr. Rismauli menjelaskan sangat penting bagi masyarakat untuk lebih peka dalam mengetahui dan merasakan tanda serta gejala kanker kepala dan leher sejak awal.

Tanda-tanda yang perlu diperhatikan termasuk benjolan pada leher yang tidak bergejala, adanya ulserasi mukosa yang menyakitkan, lesi mukosa pada daerah mulut yang terlihat, suara serak, maupun disfagia atau sulit menelan.

Gejala selanjutnya tergantung pada lokasi dan luas tumor termasuk rasa nyeri, kelumpuhan saraf, parestesia yaitu kesemutan atau mati rasa, trismus atau kekakuan pada daerah rahang dan leher yang menyebabkan seseorang sulit membuka mulut.

Selain itu, bisa juga dijumpai halitosis atau bau mulut yang dapat disebabkan oleh kebersihan mulut yang tidak terjaga, penyakit yang diderita atau gaya hidup yang tidak baik.

"Menimbang penderitaan yang berat terhadap kanker kepala dan leher, masyarakat dihimbau untuk menerapkan pola hidup sehat dengan berhenti merokok, tidak mengonsumsi alkohol, menggunakan tabir surya yang memadai, mengurangi risiko infeksi HPV dan HIV, menjaga kebersihan dan merawat gigi dan mulut," ujar dr. Rismauli.

Baca juga: Mengapa wanita yang tak pernah hamil berisiko kena kanker payudara?

Pengobatan

Pengobatan kanker kepala dan leher utamanya adalah melalui bedah, radiasi dengan atau tanpa kemoterapi, terapi target, hingga immunoterapi. Pilihan perawatan ini akan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kanker (stadium) dan lokasi kanker yang dialami pasien.

Pelaksanaan terapi bagi pasien perlu direncanakan dengan seksama oleh tim dokter dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda seperti dokter THT, Radioterapi, Medical Oncology yang di Indonesia dikenal sebagai Konsultan Penyakit Darah dan Kanker, bahkan diperlukan keterlibatan dokter ahli gizi serta dokter rehabilitasi medik untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal.

"Jika dideteksi dan dirawat sejak dini, kanker kepala dan leher seperti pada jenis kanker lainnya dapat memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dan kualitas hidup pasien yang juga lebih baik," ujarnya.

Membiasakan diri untuk menjalankan gaya hidup bersih dan sehat sangat penting untuk menghindari berbagai penyakit termasuk kanker kepala dan leher. Terutama di tengah pandemi COVID-19 seperti saat ini, mengkonsumsi makanan bergizi seimbang, aktif berolah raga serta menjaga pola tidur yang cukup sangat penting.

Menurut data Globocan 2020, kejadian baru kanker kepala dan leher di dunia sebanyak 932.000 yang merupakan penjumlahan dari kanker jenis kanker bibir dan rongga mulut, lidah, orofaring, hipofaring, laring, nasofaring, dan kelenjar ludah. Bukan hanya itu, kanker kepala dan leher tercatat menjadi penyebab kematian pada urutan ketujuh di dunia dan merupakan 5 persen dari seluruh kanker di dunia.

Kementerian Kesehatan (Kemkes) menyebut prevalensi penyakit kanker mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Merujuk pada data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1.79 per 1000 penduduk, naik dari tahun 2013 sebanyak 1.4 per 1000 penduduk.

Sementara Pada tahun 2020, kasus kanker dibandingkan total populasi penduduk sebanyak 273 juta, terdapat 396.914 kasus baru dengan angka kematian hampir tiga perempatnya yaitu 234.511 jiwa.

Sayangnya, pada umumnya 70 persen pasien kanker baru berkunjung ke fasilitas kesehatan pada saat stadium akhir.

Kanker pada umumnya dimulai saat sel-sel sehat mulai mengalami perubahan dan tumbuh tak terkendali. Sel-sel tersebut lantas membentuk sebuah massa yang disebut tumor. 

Sebuah tumor jinak bisa saja tumbuh namun tidak menyebar, sementara tumor bisa saja bersifat kanker atau jinak. Tumor kanker berbahaya saat dia tumbuh dan menyebar ke seluruh bagian tubuh.​​​​​​​

Sejak dimulainya penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), pembiayaan perawatan penyakit kanker sejak tahun 2014 hingga 2019 sebesar Rp17,3 triliun.​​​​​​​


Baca juga: Aktor veteran Nam Moon-chul meninggal setelah terdiagnosis kanker

Baca juga: Tak semua benjolan pada leher kanker tiroid

Baca juga: Operasi bukan langkah awal penanganan benjolan payudara

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021