Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam turun gunung. Ibarat pendekar yang selama ini diam dan hidup di pertapaan, ia kembali ke dunia persilatan politik yang hingar bingar. Dipo, 61 tahun, tampil menjadi pembela Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang mendapat serangan keras dari tokoh lintas agama.

"Kalau Presiden dibilang pembohong dan amoral oleh Din Syamsuddin dan kawan-kawan, saya terusik. Saya lawan mereka sampai berhenti menggunakan label tokoh agama untuk berpolitik praktis," katanya dalam wawancara dengan Antara di Jakarta, Sabtu.

Dipo lah yang balik menyerang tokoh lintas agama ekslusif itu sebagai "gagak hitam pemakan bangkai tapi berbulu merpati putih". Sebuah tamsil bagi pihak yang melakukan politik praktis atas nama gerakan moral dan agama.

Ia kecewa karena umumnya menteri kabinet tidak mau bicara dan membiarkan Presiden yang harus menjawab semua persoalan. "Jadi menterinya mau, tapi membela presiden tidak," keluhnya.

Ibarat tim sepakbola kabinet, Dipo sebagai Seskab memegang posisi penjaga gawang atau back. Ruang lingkup tugasnya terkait dengan adiminstrasi pemerintahan, kertas-kertas Keppres, Inpres, masalah-masalah legislasi, dan persidangan kabinet. Arahan-arahan presiden dalam persidangan itu ia sampaikan kepada menteri-menteri atau pejabat terkait.

"Saya menjalankan tugas seperti itu satu tahun ini. Saya nyaris tidak pernah bicara kepada pers, saya diam saja, karena saya tahu posisi saya sebagai Seskab. Hati nurani saya terpanggil untuk membela presiden secara terbuka setelah gagak hitam menuduh pemerintah berbohong," katanya bersemangat.

Dipo mulanya mencoba memainkan peran sebagai gelandang (libero) yang membagi bola kepada menteri-menteri untuk menyerang. Ia telah menulis surat kepada menteri kabinet agar aktif bicara ketika presiden diserang. Kalau ada apa-apa, Dipo juga langsung telpon menteri untuk bergerak dan bertindak. Tapi hanya satu dua menteri yang berani menendang bola ke gawang lawan. Sementara pertandingan di lapangan politik makin keras.

"Saya terpaksa turun tangan. Saya memutuskan untuk maju menjadi striker. Saya harus menyerang untuk membobol gawang lawan. Saya siap meladeni setiap serangan kepada presiden," katanya.

Maka jadilah Dipo sebagai penyerang yang lincah dan mematikan. Ia keras membantah pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang menyatakan aksi masa di Tunisia dan Mesir bisa terjadi di Indonesia. Dipo menganggap Yudhoyono tak menumpuk harta dan tidak ingin berkuasa selamanya seperti pemimpin dua negara itu.

Dipo juga yang menyindir tokoh lintas agama eksklusif Mgr Martinus Situmorang dan Romo Benny Susetio agar tidak bermimpi menjadi Kardinal Sin yang menggerakkan people power di Filipina. Sebab, "SBY bukan Marcos dan Ibu Ani Yudhoyono bukan Imelda Marcos," katanya.

Tak Ada Instruksi Presiden
Menjawab pertanyaan apakah Dipo diperintah SBY atau paling tidak mendapat restu dari presiden untuk maju sebagai striker, mantan aktivis mahasiswa 1975 itu mengatakan bahwa tindakannya itu adalah ide orisinal dari dirinya sendiri. Tidak ada instruksi dari presiden.

"Saya laporkan kepada pak SBY dan presiden tidak melarang atau menyuruh. Artinya saya tidak offside," katanya.

Ia juga menolak tudingan mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Ma'arif bahwa dirinya telah kehilangan hati nurani. Justru hati nuraninya terpanggil melihat tokoh lintas agama yang berpolitik praktis dengan menuding pemerintah melanggar konstitusi, melakukan kebohongan publik, mendirikan rumah-rumah kebohongan dimana-mana, mendukung gerakan koin untuk presiden, mengecoh Forum Rektor untuk terlibat serta menggalang para mahasiswa.

"Kalau mau berpolitik praktis, buatlah partai seperti PDIP atau Ormas seperti Nasional Demokrat. Janganlah gagak hitam pura-pura menjadi merpati putih," katanya seraya mengingatkan bahwa Syafii Ma'arif pernah menjadi bintang iklan politik salah satu Capres pada Pemilu 2004 lalu.

Ketika disampaikan apa yang menyebabkan dirinya berubah dari aktivis anti pemerintah yang sampai dipenjarakan menjadi pembela utama dari pemerintah SBY-Boediono sekarang ini, Dipo mengatakan, dulu sebagai Ketua Dewan Mahasiswa dan tokoh HMI pihaknya melawan otoritarian. Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto cenderung represif dan kebebasan dibatasi.

"Saya sekarang membela presiden karena SBY bukan seperti Soeharto. Tak mungkin SBY menjadi presiden seumur hidup. Reformasi membatasi wewenang dan kekuasan presiden. Ada kebebasan pers, ada desentralisasi, korupsi diberantas," katanya.

Tak Ada Ambisi Apapun
Menjawab pertanyaan apakah dia punya ambisi tertentu di balik pembelaannya yang sangat terbuka kepada SBY, Dipo menggelengkan kepala.

"Orang mungkin menilai saya menjilat. Tidak, saya tidak punya ambisi apapun," katanya.

Dipo mengatakan, usianya mulai lanjut. Ia sudah menjalani perjalanan kariernya yang panjang. Tidak ujug-ujug aktivis tiba-tiba jadi Sekretaris Kabinet. Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Dipo menjadi anggota MPR yang merumuskan TAP MPR anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid, Dipo diangkat menjadi staf ahli presiden.

Intinya, Dipo pernah menjadi birokrat dan pejabat eselon 1 di bawah lima presiden dari Soeharto sampai SBY. Pernah juga menjadi Deputi dari enam Menko Perekonomian dari zaman Ginandjar Kartasasmita sampai Aburizal Bakrie. Sebelum dilantik menjadi Sekretaris Kabinet pada pemerintahan masa jabatan kedua Presiden Yudhoyono.

"Jadi ambisi apalagi? tanyanya.
(ANT/K004)

Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011