Jakarta (ANTARA) - Kekompakan ASEAN termasuk di dalamnya Indonesia sebagai salah satu anggota masih diuji dan merupakan sebuah keharusan karena tanpa persatuan, perhimpunan ini tidak dapat berbicara satu suara.

Kekompakan itu penting ketika ASEAN menghadapi tekanan-tekanan eksternal apakah itu datang dari China, Amerika Serikat (AS), atau kekuatan-kekuatan besar lainnya.

Benih-benih fragmentasi di dalam tubuh ASEAN sudah terlihat terutama sejak hubungan antara AS dan China memburuk beberapa tahun terakhir dan menyebabkan Asia Tenggara berada dalam posisi yang sulit.

Negara-negara anggota ASEAN menghadapi kesulitan antara lain secara ekonomi terjerat dengan China di satu sisi, namun bergantung pada jaminan keamanan AS yang telah lama ada di sisi lain.

Baca juga: EU dorong transparansi perundingan kode etik China-ASEAN soal LCS

Para kepala negara/pemerintahan di ASEAN harus “meniti buih” menghadapi realitas tersebut dan dalam setiap konferensi tingkat tinggi (KTT) mereka membahas untuk menemukan solusi atas berbagai masalah internal dan eksternal.

Rivalitas antara AS dan China yang termasuk mitra wicara ASEAN tidak hanya terjadi pada sektor ekonomi dan perdagangan tetapi menyentuh juga perluasan pengaruh di kawasan. Hal ini memberikan dampak besar terhadap ASEAN secara keseluruhan.

Sebagai organisasi regional yang telah berkembang sedemikian rupa, ASEAN harus tetap menunjukkan posisinya yaitu bersikap mempertahankan keseimbangan strategis dalam merespons rivalitas AS dan China di kawasan Asia Tenggara dengan para anggotanya didorong berkomitmen menurunkan eskalasi persaingan kedua kekuatan tersebut dan mengambil kebijakan bagi terciptanya perdamaian di kawasan.

Sengketa Laut China Selatan (LCS) yang masih tegang memperdalam kesenjangan antara Washington dan Beijing karena keduanya tak ada yang mau kalah. Masing-masing negara besar tersebut menunjukkan siapa diri mereka dan perang kata-kata pun turut mewarnai.

ASEAN yang kohesif adalah sebuah keniscayaan untuk memelihara stabilitas regional. Di masa lalu kawasan Asia Tenggara telah menjadi objek pertarungan dan perebutan pengaruh antara kekuatan-kekuatan.

Persatuan ASEAN jangan sampai tergoyahkan bahkan terkoyak akibat kekuatan-kekuatan besar berusaha memengaruhi negara-negara anggotanya. Diharapkan tak ada lagi suara yang membuat perhimpunan ini terbelah akibat pengaruh faktor eksternal.

Melihat tantangan internal dan eksternal di kawasan, Vietnam telah memilih tema “Kohesif dan Responsif” bagi Keketuaan ASEAN 2020. Hanoi menyadari ujian demi ujian telah dan sedang dihadapi perhimpunan ini.

Di bawah keketuaan Brunei Darussalam kali ini, sikap ASEAN mengenai konflik tersebut masih dinantikan.

Baca juga: Kemlu RI: Ada penolakan klaim China atas LCS dari "non-claimant" ASEAN

ASEAN masih sibuk mengatasi masalah-masalah internal seperti perkembangan politik di Myanmar, penanganan bersama pandemi COVID-19 dan klaim tumpang tindih di LCS yang hingga kini masih menjadi duri dalam daging bagi soliditas organisasi ini.

Demikian juga dengan prinsip “tidak mencampuri urusan domestik negara lain” ikut dipertanyakan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan. Tanpa kerja sama dan kesepahaman di antara negara-negara anggota ASEAN, sulit dibayangkan masyarakat ASEAN dapat mencapai tujuan bersamanya.

Jika ditilik lebih jauh kepentingan geopolitik dari masing-masing negara anggota ASEAN dalam menanggapi rivalitas antara AS dan China di kawasan Asia Tenggara tampak berbeda. Hal itu tercermin dari bagaimana mereka menyediakan vaksin COVID-19 bagi warga negaranya. Namun perbedaan itu seharusnya dapat diatasi dan tidak membuat perhimpunan gagal membuat suara bulat.

Sentralitas ASEAN

Secara khusus untuk menyatukan posisi bersama-sama menantang China dalam konflik klaim tumpang-tindih di perairan LCS, para pengamat hubungan internasional melihat perbedaan kebijakan di antara anggota ASEAN.

Konflik antara China dan empat negara anggota ASEAN (Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Malaysia) telah mempersulit posisi ASEAN. Perbedaan kebijakan itu bahkan melebar pada perbedaaan dukungan mereka terhadap manuver AS di perairan LCS.

Sesungguhnya China dan ASEAN telah memiliki Pernyataan Bersama Perilaku (DOC) yang ditandatangani pada 2002 dan masih merundingkan kode etik para pihak (COC) di LCS.

Para pengamat menunggu tanggapan dari para kepala negara/pemerintahan yang akan mereka suarakan dalam KTT ASEAN akhir Oktober ini. Akankah tanggapan mereka satu suara khususnya terkait sengketa di LCS dan perkembangan terbaru di bidang politik dan keamanan di kawasan?

Yang pasti sentralitas ASEAN telah mendorong organisasi regional ini mengambil sikap tidak memihak AS dan China, yang tetap memiliki arti strategis dan menolak keras terjebak dalam rivalitas kedua kekuatan tersebut.

Para pihak perlu menahan diri, tidak terlibat dalam perilaku yang dapat memperumit situasi; terus menyelesaikan sengketa melalui tindakan damai sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, bekerja secara aktif menuju implementasi yang penuh dan efektif Deklarasi 2002 tentang DOC secara keseluruhan dan COC yang sudah lama dinantikan.

Ketidakpatuhan yang diperlihatkan China terhadap UNCLOS 1982 sempat membuat ketegangan tidak hanya dengan Indonesia di Laut Natuna tetapi juga dengan Malaysia, Filipina dan Vietnam di masing-masing perairan mereka.

Indonesia menegaskan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di LCS, kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam pertemuan bilateral secara virtual dengan Ketua Dewan Nasional Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China Wang Yang (27/9/2021).

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, para founding fathers telah menggariskan politik luar negeri Indonesia didasarkan pada doktrin bebas aktif. Artinya Indonesia bebas menjalin kemitraan dengan negara mana pun dan aktif mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Baca juga: ASEAN tegaskan penyelesaian nonmiliter atas sengketa LCS

Indonesia mendorong penyelesaian tiap masalah yang dihadapi ASEAN secara damai dan melalui diplomasi termasuk negosiasi-negosiasi yang diadakan ASEAN-China yang masih menemui jalan buntu mengenai isu-isu kunci dalam COC.

Perbedaan dan neo-kolonialisme

Ini menunjukkan bahwa di antara sesama negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan kepentingan yang juga memperlihatkan rasa saling curiga atau tidak percaya antarnegara atas kemampuan ASEAN untuk menyelesaikan konflik di LCS sesuai dengan norma dan nilai ASEAN.

Jika diamati lebih mendalam lingkungan geopolitik di LCS telah bergerak ke tahap baru. Tak hanya melibatkan pihak-pihak yang bersengketa atas kedaulatan di kawasan itu tetapi juga menarik sejumlah negara besar yang merasa memiliki kepentingan.

China melihat perbedaan-perbedaan di dalam tubuh ASEAN dengan menggunakan keunggulan ekonomi dan militernya demi kepentingannya.

Mengaku memiliki hak kesejarahan, Beijing berambisi untuk mengendalikan lebih 80 persen dari LCS. Baru-baru ini, China telah secara agresif melakukan pembangunan pulau buatan di LCS dan melengkapinya dengan kekuatan militer paling modern.

Misalnya, dilaporkan London Reefs telah dibangun menjadi pulau terapung dengan luas 231.000 meter persegi, Subi menjadi pulau terapung dengan luas empat juta meter persegi, Cross Reef memiliki luas 2,7 juta meter persegi, Mischief Reef 5,5 juta meter persegi, Gaven 1.360 meter persegi, Hughes Reef 1.400 meter persegi dan Johnson Reef 109.000 meter persegi.

Secara total, wilayah China yang mencakup Kepulauan Spratly sekitar 1.300 hektar. Ini adalah salah satu hal hebat yang pernah dilihat dunia di planet seperti ini.

Namun negara itu mendapat tantangan dari AS yang menghendaki kebebasan navigasi, sementara kekuatan-kekuatan lain di kawasan seperti Jepang, India dan Rusia mencari pengaruh yang lebih besar di Asia Tenggara.

Para pengamat berpendapat China dengan pengaruh budaya, bahasa, ekonomi, perdagangan dikombinasikan dengan kekuatan militer ingin menunjukkan dominasi di LCS sebagai batu loncatan untuk dominasinya di tingkat global.

Tak sedikit yang berpandangan bahwa apa yang diperlihatkan oleh China di kawasan ini merupakan “neo-kolonialisme” di laut dan tak mematuhi hukum internasional.

Patut dicatat dalam kaitan ini sikap pemerintah Vietnam terkait masalah LCS tidak berubah sedikitpun dari tahun ke tahun. Hanoi tetap konsisten dan juga konsisten dengan hukum intenasional khususnya Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dan keputusan Mahkamah Arbitrase (PCA) di Den Haag pada 12 Juli 2016.

Mengingat pentingnya keamanan maritim, terutama yang berkaitan dengan negara-negara anggotanya, ASEAN harus menjunjung konsensus dan soliditas untuk mengatasi tantangan ini, lebih penting daripada masalah masing-masing negara dalam berhubungan dengan China.

*Mohammad Anthoni adalah wartawan senior LKBN ANTARA sejak 1990 hingga 2019.

Baca juga: Kegiatan reklamasi China di LCS ubah status quo
Baca juga: Ahmad Basarah: ASEAN dan mitranya bisa punya posisi tawar di LCS


Copyright © ANTARA 2021