Jakarta (ANTARA) -
Antropolog dari Prancis Dr. Jean Couteau berpendapat transformasi merupakan salah satu ancaman bagi masa depan.
 
Menurut dia beberapa transformasi berjangka panjang, terutama berhubungan dengan manusia dan alam, ketidakseimbangan demografis, pergeseran distribusi kekuatan ekonomi dunia antara kutub raksasa baru di China dan kutub kapitalistik dinamis baru yang berkembang di luar kekuasaan barat.
 
"Daripada fokus pada transformasi itu sendiri, saya memilih untuk menilai risiko masa depan yang disebabkan oleh transformasi dengan berfokus pada ketahanan wilayah geografis dan budaya yang dipilih di dunia," kata Jean Couteau saat menjadi narasumber pada acara Jakarta Geopolitical Forum V/2021 yang mengangkat tema "Culture and Civilization: Humanity at the crossroad" secara daring, Jakarta, Kamis.
 
Menurut dia, negara barat telah lama berhasil mempertahankan keadaan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi melalui tiga cara.
 
Tiga cara itu adalah di inovasi teknologi, perluasan pasar yang konstan melalui ekspor modal, dan akses berkelanjutan ke tenaga kerja murah melalui imigrasi atau delokalisasi.
 
Kebijakan-kebijakan tersebut membawa negara-negara barat berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tepat, menjaga harga barang-barang konsumen tetap rendah, dan mempertahankan standar hidup yang tinggi. Namun, kontradiksi yang merusak kebijakan ini telah muncul, yaitu transformasi.
 
"Ekspor modal telah menciptakan pesaing ekonomi dan strategis yang secara drastis mengurangi daya tawar serikat pekerja," katanya dalam siaran persnya.

Baca juga: Antropolog: Kondisi komoditas alam Indonesia kini memprihatinkan

Baca juga: Antropolog Unair: Isolasi dan masker berperan kendalikan Flu Spanyol
 
Secara budaya, sebagian negara-negara barat telah melepaskan sikap positivistik. Namun, ketika kepercayaan akan kemajuan menurun, maka skeptisisme spiritual semakin luas sehingga harapan ideologis berjalan ke segala arah.
 
Secara politis, hal ini mengkhawatirkan dan dapat menyebabkan krisis yang tidak terduga.
 
Menurut dia, Perkembangan ini memiliki konsekuensi politik yang mendalam terhadap impor tenaga kerja asing dan melemahnya serikat pekerja, sehingga menghancurkan kekuatan politik kelas pekerja.
 
Di sisi lain, China berhasil dengan sistem ekonomi pasar yang dikelola dengan menciptakan sistem. "Masyarakat terkelola" yang lengkap, yakni penggabungan ideologi komunis dengan politik.
 
Hal ini membutuhkan kendali yang ketat atas media modern dengan menggunakan kecerdasan buatan dan menekankan batasan kebebasan berekspresi.
 
Tingkat "otonomi orang" yang dicapai di bawah sistem Tiongkok dapat membebaskan China dari kontradiksi sosial dan gangguan politik yang menghantui negara-negara barat.
 
Hal ini dikarenakan budaya Tiongkok selalu mengutamakan kebaikan bersama di atas individu. Komunisme yang bersandar pada analisis radikal barat tentang realitas ekonomi dan sosial, tidak akan berhasil tanpa latar belakang budaya tersebut.
 
Dalam jangka panjang, lanjut dia, segalanya akan menjadi lebih sensitif. Tingkat otonomi orang yang disebabkan oleh pembangunan, dapat membuka kontradiksi masyarakat China yang mampu membawa gangguan dan pergolakan politik dengan konsekuensi internasional yang dramatis.
 
Krisis Iklim
 
Dalam kesempatan itu, Jean Couteau menyebutkan, saat ini dunia sedang menuju turbulensi dan krisis iklim. Di beberapa kalangan, kesadaran global sedang terbangun seputar isu ekologi dan pemanasan global.
 
Dalam strata yang kurang berpendidikan, ketegangan tentang identitas nasional dan identitas agama mungkin meningkat.
 
"Dengan demikian, dunia mungkin berada di persimpangan jalan antara pencerahan dan kegelapan," ucap Couteau.
 
Oleh sebab itu, Indonesia harus tetap berada di luar pertikaian ekonomi dan budaya yang terjadi di Kawasan Asia yang lebih luas maupun yang sedang dilakukan.
 
"Indonesia juga perlu mewaspadai perubahan demografis di wilayah multi agama," ujarnya.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021