Model kepemimpinan yang berlandaskan prinsip, yaitu merintis, menyelaraskan dan memberdayakan."
Jakarta (ANTARA News) - Dalam benak setiap yang memiliki jiwa (spirit) pemimpin, maka ia harus sadar bahwa dirinya menjalani taraf menjadi manusia sejati (real human being). Ia mau menyediakan waktu teratur tanpa banyak publisitas, dengan sadar dan jelas (aware and clear) sebagai bentuk menghayati dua prinsip utama dalam gugat diri secara meditatif filosofis.    

Dua prinsip utama itu adalah berani secara konsisten mengosongkan pemikiran yang tak karuan (reach emptiness) agar pemikirannya jernih,  dan konsentrasi sebagai alur tengah (concentration is a middle  piece or way) untuk  mampu mewujudkan   diri sebagai manusia sejati yang tidak melulu mencari publisitas diri.  

Secara fisik dan psikis, pemimpin juga harus memperhatikan kesehatannya. Kalau ia berada dalam kesehatan fisik dan psikis yang lemah, maka saat mengambil keputusan dimungkinkan secara insting muncul semacam "membela diri" dalam kelemahan kriteria/alasan pengambilan keputusan, dan hasilnya bisa salah. Hal itu kedengarannya sederhana, namun justru awal kesehatan fisik dan psikis itu menjadi penting.

Ia harus memiliki keingintahuan yang langgeng (perpetuous curiosity) dengan berani senantiasa memunculkan berbagai gagasan baru dengan inovasi pikiran dan sikap pandang yang jelas. Kalau sampai terjadi seorang pemimpin itu lebih suka memelihara sikap status quo, maka akibatnya bisa berupa kemandekan dan kelesuan dalam diri pihak bawahan, terutama manajemen menengahnya yang seharusnya diberdayakan (empowerment of the middle management).

Sebagai pemimpin, ia juga harus mampu mengarahkan manajemen bawahan dengan tujuan berkarya (objectives) yang jelas, penuh percaya diri bahwa tujuan yang dicanangkan itu dapat dicapai. Seorang yang dipercayai sebagai pemimpin juga harus memiliki kemampuan memberdayakan  bawahan dengan kepribadian yang dapat diandalkan. Ia bukan sebagai pemimpin yang bersikap pengecut dan memuji-muji bawahan untuk disanjung-sanjung hanya di permukaan. Memuji-muji (flattery) bawahan itu hanya sesaat sifatnya, karena bisa-bisa bawahan menutupi ketidakbecusan atau bertingkah sebagai yes men.    

Dalam pengamatan terungkap di kalangan elite dan bisnis bahwa selayaknya yang menonjolkan diri pemimpin berupaya menempatkan diri dari sukses ke signifikansi (kebermaknaan).  Ia mengerjakan berdasarkan tujuan (intentional) dan berdasarkan pengaruh. Keduanya sangat berbeda dengan kekuasaan, manipulator, atau pemaksa karena kedudukan model komando yang tanpa visi jangka panjang yang di dalamnya jangka menengah.   

Model kepemimpinan yang berlandaskan prinsip, yaitu merintis, menyelaraskan dan memberdayakan (pathfinding, aligning, empowerment) merupakan paradigma yang berbeda dari pola pikir manajemen tradisional, apalagi yang otoriter. Pemimpin  dihadapkan kejaran waktu (time constraints), yang berarti mengambil keputusan dan berani memikul konsekuensi keputusan  sekalipun ada kelemahan dan hambatan.

Pemimpin itu beda dengan manajer. Pemimpin berfokus pada mengerjakan hal yang benar (doing the right things), sedangkan manajer memusatkan perhatikan pada mengerjakan secara funggsional tepat (doing the thing right).  Pemimpin berani memunculkan paradigma baru ke permukaan dengan risiko kurang disukai oleh kelompok kecil "tukang jegal”, atau bahkan "tukang jagal".    

Sebagai manusia sejati (real human being), maka pemimpin mengindentifikasi asumsi dan motivasi yang melandasi dan memberikan tantangan dengan pertanyaan "apa yang masih bisa dikerjakan" tanpa banyak “mencari publisitas dan popularitas”. Ia menyediakan waktu untuk berkomunikasi dwi-arah, dan berani mengaku kalau opininya ternyata tidak layak (feasible). Berani mengaku tanpa embel-embel memarahi publik melalui media multimedia massa.   

Sifat pribadi (personality traits) dari pemimpin yang efektif adalah mereka sedikit sekali, atau bahkan tidak punya niat menonjolkan diri sebagai manusia berkarisma. Mereka tidak banyak menyebut istilah itu, apalagi mengaktualkannnya.   

Seorang pemimpin yang efektif tahu definisi satu-satunya adalah seorang yang mempunyai pengikut. Ada yang muncul sebagai pemikir, ada yang muncul konseptor dan penggerak implementasi. Pemimpin efektif selalu berani mendelegasikan dengan memberdayakan dalam  banyak hal, namun sangat menyadari bahwa tanggung jawab total ada pada diri kepemimpinannya tanpa bisa didelegasikan.

Menjadi manusia sejati bukan memaksa dan menakuti-nakuti atau mengancam orang lain agar menjadi pengikut. Tanpa memperhatikan perbedaan dalam kepribadian, gaya, kemampuan, maupun minat, setiap pemimpin efektif punya cara kerja yang sama. Mereka tidak mengawali dengan bertanya, "Apa yang saya inginkan".  Mereka justru mulai bertanya, "Apa yang perlu dikerjakan demi peningkatan mutu kehidupan pihak lain, rakyat dan bangsa yang dilayani, dengan ketegasan waktu (time-frame)."  

Pemimpin senantiasa  bertanya, "Apa yang dapat dan harus saya kerjakan untuk membuat adanya kemajuan riil dari yang saya layani". Hal ini berkaitan dengan sesuatu yang perlu dikerjakan baik yang sesuai dengan kredibilitas sang pemimpin, maupun menentukan cara di mana ia dapat menjadi pemimpin yang efektif, memotivasi, memberdayakan eselon memengah dan menghargai ketepatan waktu, mutu dan tidak selalu terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Dari kenal diri  dengan  memiliki kesadaran (awareness). Langkah selanjutnya, mengidentifikasi diri dan belajar berpikir ulang untuk  berani mengambil keputusan  yang bertanggung jawab tanpa mengulur ulur waktu implementasi, tanpa  meragu dengan mencari kambing hitam dan bentuk bentuk tim kerja baru dan seterusnya. Penting sekali untuk setiap kali menyegarkan diri dengan  menggugat diri apa yang ada dalam pikiran (what is going through your mind) dan apa yang  menjadi kesadaran diri (self awareness). Hal yang penting, pemimpin bukan pengecut dan senantiasa bersembunyi di balik "menyalahkan orang lain".  

Sebuah pepatah kuno China mencatat: “Pemimpin sejati adalah seorang yang dapat memotivasi manusia di sekelilingnya mendaki mencapai tingkat tertinggi dengan membuka peluang peluang dan bukan kewajiban melulu." Untuk itu, pemimpin perlu mendidik diri dan melalui studi kelompok kecil secara teratur. Dalam kebersamaan tim membuang pola pikir yang meragu (biased mind), membuang  penilaian secara sembarangan.    

Butir gugat diri secara berkesinambungan harus menjadi acuan manusia sejati yang merasa terpanggil menjadi pemimpin. Hendaknya juga disadari bahwa tidak setiap orang bisa menjadi pemimpin. Layaknya pepatah Jawa bahwa hendaklah menjadi orang yang selalu "bisa merasa" (bisa rumangsa), dan jangan menjadi orang yang senantiasa "merasa bisa" (rumangsa bisa). (*)

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi dan bisnis; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011