Myanmar tidak taat kepada komitmen bersama terkait hukum internasional dan melanggar janjinya sendiri
Jakarta (ANTARA) - Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah menilai keputusan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang tidak mengundang junta militer Myanmar memberikan ruang dan momentum kontemplasi bagi negara tersebut.

“Kita harus memberikan keyakinan kepada dunia bahwa Myanmar sedang berhadapan dengan situasi secara sendiri dulu. Ini periode kontemplasi bagi Myanmar, tidak berarti dia dikeluarkan dari ASEAN,” kata Teuku saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Minggu.

ASEAN memutuskan tidak mengundang junta militer Myanmar dalam KTT tersebut dan memilih untuk mengundang pihak non-politik dari Myanmar karena sejumlah alasan, salah satunya Myanmar tidak berkomitmen terhadap proses perdamaian yang terjadi di negara itu.

Selain itu, ASEAN juga tidak mendapatkan respons yang baik dari junta militer Myanmar terkait implementasi Konsensus Lima Poin (Five-Point Consesus).

Baca juga: ASEAN "meniti buih" hadapi neo-kolonialisme di laut

Menurut Teuku, kalaupun Myanmar akan datang di KTT tersebut, tindakannya akan menyulitkan para perwakilan negara-negara ASEAN lainnya dan memancing respons masyarakat internasional.

“Kalaupun Myanmar datang, dia akan malu, dunia akan tanya-tanya terus dan mempersulit kepala negara lain. Mereka akan sungkan menjawab Myanmar, Myanmar ada di situ,” katanya.

Dia menilai keputusan ASEAN tidak mengundang junta militer Myanmar tepat, namun diperlukan sejumlah langkah untuk menjaga hubungan baik di antara seluruh anggota ASEAN serta kondisi yang damai di kawasan.

“Memang perlu rehat dulu. Perlu diberikan briefing dari Ketua ASEAN bahwa apa yang kita lakukan itu demi kebaikan bersama. Kalaupun Myanmar enggak ada di KTT ASEAN, tidak akan ada efek kejut. Tidak akan ada resolusi atau pernyataan yang menentang mereka. Itu yang harus diyakinkan dulu,” katanya.

Teuku menambahkan bahwa belum pernah terjadi sebelumnya di antara anggota ASEAN yang tidak mematuhi produk hukum bersama.

Baca juga: AS: KTT ASEAN tanpa Myanmar langkah signifikan, tapi belum cukup

“Myanmar tidak taat kepada komitmen bersama terkait hukum internasional dan melanggar janjinya sendiri. Dia janji dalam waktu setahun akan gelar pemilu, juga tidak ada perwakilan masyarakat yang dia gulingkan. Komitmen moral pun tidak ada,” katanya.

Dia menjelaskan berbagai faktor yang membuat Myanmar mengambil sikap seperti itu, salah satunya hubungan perdagangan Myanmar dengan negara-negara ASEAN, terutama Indonesia tidak kuat.

Sehingga, lanjut dia, menurunkan daya tawar ASEAN dibandingkan dengan China yang dinilai dekat dengan Myanmar.

Internal trade Myanmar dan Indonesia tidak tinggi. Perdagangan Myanmar berfokus kepada Indochina. Indonesia, Malaysia, Brunei terlalu tidak berani menekan karena tidak ada yang bisa kita tawarkan. Kalau mau konsesi harus ada take and give-nya,” ujarnya.

Selain itu, menurut dia, kondisi geografis Indonesia juga jauh dengan Myanmar dibandingkan dengan China yang bisa secara langsung mempengaruhi Myanmar.

Untuk itu, Teuku menyarankan Ketua ASEAN saat ini, yakni Brunei Darussalam agar membuka dialog secara terbatas dengan Myanmar.

“Bahwa dalam kondisi saat ini yang kita lakukan menjadi spotlight dunia. Mereka akan melihat. Sebaiknya Myanmar tetap di ASEAN, tetapi untuk saat ini Myanmar tidak ada dulu biarkan kami membahasnya secara terbuka. ASEAN boleh mengambil keputusan tanpa semua harus hadir, tapi dipastikan Myanmar tetap mendapatkan informasi,” katanya.

Baca juga: Myanmar kecam keputusan ASEAN tak undang pemimpin junta ke KTT
Baca juga: Pengamat: Tak undang junta Myanmar ke KTT ASEAN keputusan tepat


Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021