"Tidak ada film Indonesia. Yang ada, sebenarnya hanya orang Indonesia bikin film."
Jakarta (ANTARA News) - Di tengah gemuruh polemik soal pajak film impor di tanah air baru-baru ini,  saya tiba-tiba teringat ucapan almarhum Wahyu Sihombing, tokoh teater dan film Indonesia,  lebih seperempat abad lalu.

“Tidak ada film Indonesia. Yang ada, sebenarnya hanya orang Indonesia bikin film.” Kritik tersebut dilontarkan Wahyu Sihombing di tengah polemik "pencarian wajah film Indonesia". Di kala itu hampir semua orang  mengklaim segala hal yang dilakukan demi untuk dan atas nama film Indonesia. Dari mulai sineas, artis,  importir, pengusaha bioskop, broker film, sampai pecundang, yang berjargon sama luhurnya, yakni "demi film nasional".

Jargon itu rupanya satu hal. Prakteknya di lapangan,  hal lain lagi. Seperti halnya dengan klaim Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, belum lama ini yang hendak memproteksi film nasional melalui pengurangan beban pajak.
 
Kebijakan proteksi terhadap film Indonesia sejak dulu sudah dilakukan. Yang saya ingat di tahun 1970an. Setiap importir yang memasukkan tiga judul film impor wajib produksi satu film nasional. Produksi ketika itu memang meningkat secara kuantitatif. Tapi, secara kualitatif? Inilah persoalannya. Rakyat kemudian marah karena insan film negeri ini cuma bikin film asal jadi. Dewan Film Nasional berkali-kali membiayai produksi film, tapi dari belasan yang diproduksi, hanya beberapa saja yang bagus.  

Di zaman Menteri Penerangan RI Ali Murtopo (1978-1983) lebih seru lagi. Produksi film dilecut. Promosi dan pemasaran film nasional di luar negeri, termasuk ke Eropa dan Amerika digalakkan. FFI pun dibiayai. Tetapi, ternyata tidak ada hubungan langsung antara proteksi itu dengan kualitas film.  

Sejak Ali Sadikin (1966-1977) menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, film Indonesia amat dimanja. Pusat perfilman dibangun. Lengkap dengan Pusat Dokumentasi (Sinematek). Pajak tontonan di DKI Jakarta waktu itu setiap tahun dikembalikan ke produser film untuk mendorong mereka meningkatkan kualitas film Indonesia. Pengembalian pajak tontonan juga diberikan kepada pengusaha bioskop supaya bisa meningkatkan fasilitas dan pelayanan kepada penonton.  

Festival Film Indonesia (FFI) secara teratur diselenggarakan sebagai event nasional dan dipromosikan besar-besaran seperti event nasional penting lainnya. Bang Ali juga mendirikan sekolah film Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang kemudian menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), sebagai tempat “pembibitan” sineas-sineas secara akademis. Untuk melayani proses pencucian dan pencetakan film, pengusaha Nyo Han Siang mendirikan Inter Studio di Pasar Minggu.

Organisasi-organisasi perfilman, seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Karyawan Film dan Televisi Indonesia (KFT), Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) jugadiproteksi oleh pemerintah dan diberi kekuasaan untuk mengeluarkan rekomendasi kelayakan.  

Lima tahun

Tahun 1986 pengusaha Soedwikatmono bekerjasama dengan Raam Punjabi mempelopori pembangunan jaringan bioskop sinepleks atau kompleks bioskop. Setelah sukses dengan percobaan sinepleks di Bioskop Kartika Chandra, dilanjutkanlah dengan nama jaringan 21 (baca: Twenty One). Gedung pertamanya megah. Gedung megah 21 pertama itu terletak di jalan utama ibukota, yaitu di Jalan MH Thamrin Kavling 21 (sekarang  Menara BII).

Segera setelah itu, Soedwikatmono (Pak Dwi, yang meninggal dunia di usia 76 tahun pada 8 Januari 2011) menata sistem impor film. Ia mengonsolidasi importir dalam asosiasi, untuk menjamin pasokan film. Supaya bisa imbangi kualitas film impor, Soedwikatmo bekerjasama dengan sineas Teguh Karya memproduksi sejumlah film nasional berkualitas.   

Gagasan “mengendalikan” film impor hanya lima tahun berhasil dijalankan. Setelah itu, produsen dan distributor film Amerika Seikat (AS) "mengacak-acak"-nya. AS memaksa Pemerintah Indonesia untuk ikut aturan mereka di seluruh dunia: mendistribusikan sendiri secara langsung filmnya di sini. Berbagai alasan dikemukakan. Intinya mereka gerah mendengar laporan “intelejennya” bahwa importir melakukan praktik monopoli, sehingga mengantongi untung terlalu banyak dibandingkan mereka. Kebijakan Pemerintah RI untuk membatasi impor demi memproteksi film nasional, mereka lawan dengan larangan ekspor tekstil dan kayu lapis ke AS.  

Keadaan itu jelas memukul posisi film nasional. Tetapi, tidaklah terlalu buruk dirasakan importir dan bioskop, sebab kerjasama mereka selanjutnya dengan AS tetap berbuah manis.  

Dalam perkembangannya kemudian karena lezatnya keuntungan dari film AS itu membuat importir dan pihak 21 sudah melebihi pihak Amerika itu sendiri. Maka, ketika AS mengeluh filmnya harus bayar pajak sesuai ketentuan, mitra mereka di sini, importir 21, lebih kencang lagi teriaknya.

Salah folder

Kembali ke film nasional dan kembali ke pertanyaan bagaimana meningkatkan mutu film Indonesia supaya bisa bersaing dengan film impor di bioskop kelas atas 21 dan Blitz Megaplex?

Saya pesimistis program yang dijanjikan Menbudpar dengan skema pengurangan pajak untuk menolong film Indonesia itu bisa direalisasikan, karena merupakan lagu lama.  

Hal yang patut menjadi pertanyaan, dari mana kekuasaannya menjanjikan di bulan Maret 2011 ada solusi bagi pajak film impor? Pak Menteri juga menyebutkan Presiden ingin Pajak Pertambahan Nilai (PPN) film nasional menjadi nol persen. Padahal, kita tahu komponen pajak itu adalah perintah undang-undang (UU), posisinya di atas Presiden. Begitu juga dengan pajak royalti yang ditunggak film impor. Menbudpar mungkin salah folder. Maksudnya, apa yang menjadi persoalan saat ini berbeda dengan yang ada dalam benaknya. Apalagi, sempat disebutkannya akan mengupayakan win-win solution bagi  pihak ekportir film Amerika yang menyoal pajak. Hal itu bukan dalam kewenangannya.

Dan, itu terbukti benar. Selang sehari setelah Jero Wacik dikutip pers bicara soal konsep win-win solution mengenai pajak impor film, Menteri Keuangan RI, Agus Martowardoyo, memberikan pernyataan resmi. Ia mengingatkan, hendaknya importir menaati aturan perpajakan di sini. Ini memperkuat keterangan  yang sudah disampaikan sebelumnya oleh dua pejabat Kementrian Keuangan, yaitu Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai dan Dirjen Pajak.  

Ada dua poin penting di situ. Pertama, pajak impor film yang ditolak pihak Amerika bukan berdasar aturan pajak baru, melainkan pajak lama sejak 1995. Kedua, ditegaskan importir memang telah menunggak yang menjadi beban mereka. Jadi jelaslah duduk masalah sebenarnya. Semakin jelaslah perbedaan folder kasus ini dengan folder pernyataan Jero Wacik.  

Kesimpulannya mungkin begini, memang tidak tepat bila ada yang menganggap ada korelasi langsung antara masalah pajak film impor dengan masalah pajak film nasional. Tidak ada aturan yang bisa langsung menghubungkan pemasukan film impor otomatis untuk sepenuhnya digunakan membangun film nasional.  

Tampaknya, sudah  waktunya kita bertanya kritis pula soal skema Menbudpar untuk membangkitkan film nasional. Ia mengemukakan pada 2010 produksi film nasional mencapai 100 judul. Faktanya, jumlahnya tidak sebesar itu, yakni hanya sekitar 70 judul.  Target 200 judul pada 2011 tentu bakal sulit terwujud bila kisruh soal film, termasuk pajaknya saja, belum terselesaikan.

*) Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id; twitter: @ilham_bintang) adalah pengamat seni dan hiburan; Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011