Jakarta (ANTARA News) - Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) versi Oesman Sapta, Sutrisno Iwantono, mengingatkan Indonesia tidak boleh tergantung pada negara lain dalam masalah pangan karena akan sangat membahayakan nasib bangsa.

"Dalam kondisi sulit, setiap bangsa tentu akan berusaha menyelamatkan diri sendiri sebelum memikirkan negara lain. Karena itu kita tidak boleh berharap selalu bisa impor pangan dari negara lain," katanya di Jakarta, Minggu.

Untuk itu Iwantono yang juga President Advocacy Center for Indonesian Farmers (ACIF) meminta insan tani, anggota dan pengurus HKTI, berkonsentrasi mengatasi ancaman krisis pangan pada tahun 2011 dibanding terpancing isu-isu mengenai keabsahan organisasi.

Iwantono mengatakan, "Pangan tidak boleh tergantung pada impor, pangan harus diproduksi sendiri. Menggantungkan pangan pada Negara lain sangat berbahaya, seminggu tanpa beras negara ini pasti ambruk. Karena itu Indonesia harus swasembada pangan. Caranya harus mendorong petani untuk menanam tanaman pangan. Agar petani bersedia menanam tanaman pangan, kuncinya adalah petani harus dapat hidup layak dari hasil panen tanamannya."

Ia mengatakan kebijakan pemerintah membebaskan bea masuk bahan pangan haruslah hanya bersifat darurat dan tidak boleh menjadi insentif negatif bagi petani, yang harus diikuti pula dengan upaya-upaya perlindungan petani terutama di saat musim panen seperti sekarang ini, tidak boleh harga jatuh. Bulog harus lebih sigap dalam pengamanan harga padi ditingkat petani.

Program-program hendaknya diprioritaskan pada pencetakan sawah baru, peningkatan produktivitas lahan per hektare, perlindungan terhadap konversi lahan pertanian, pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi, kepastian ketersediaan sarana produksi terutama pupuk bersubsidi dan kredit usaha tani.

Iwantono menjelaskan bahwa sejak tahun lalu FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) telah memperingatkan tentang akan terjadinya krisis pangan dunia yang akan bermula dari tahun 2011. Perubahan iklim, spekulasi, perebutan antara penggunaan bahan pangan untuk "biofuels" dan kenaikan permintaan pangan di Asia Timur merupakan faktor yang menyulut krisis pangan.

Gejala krisis pangan global telah terjadi sejak memasuki tahun 2011 ditandai dengan kenaikan harga pangan. Bahkan kerusuhan pangan terjadi di Aljazair, menyebabkan di Inggris mencatat rekor harga gandum tertinggi, India kelabakan dengan inflasi yang dipicu harga pangan sampai 18 persen, yang direspon dengan berbagai protes. China dengan penduduk 1,5 miliar memburu secara agresif untuk membeli gandum dan jagung dari berbagai belahan dunia yang menyebabkan harga pangan "over heating" (meningkat tajam).

Iwantono mengatakan, ada dua faktor penyebab melambungnya harga pangan. Pertama adalah tarikan permintaan, pertumbuhan penduduk dunia masih sangat tinggi, jumlah penduduk dunia saat ini adalah dua kali lipat dibanding tahun 1970, dan setiap tahun bertambah 80 juta jiwa, atau setiap malam akan ada 219.000 bayi lahir yang meminta makan.

Ditambah lagi perubahan pola makan untuk keluarga sejalan dengan perbaikan status ekonomi yakni mereka mengkonsumsi lebih banyak daging ternak, di mana ternak ini harus diberi makan dengan biji-bijian (grain). Di samping itu peningkatan permintaan pangan juga dipacu oleh produksi biofuel yang berbahan baku tanaman pangan. Sebagai contoh dari produksi biji-bijian 416 juta ton di Amerika Serikat pada 2009, diantaranya 119 juta ton digunakan untuk memproduksi bahan bakar minyak untuk mobil.

Demikian juga di Brazil, panen tebu tidak lagi digunakan untuk memproduksi gula tetapi dijadikan bahan baku ethanol. Kelapa sawit tidak semata untuk minyak goreng, tetapi untuk biofuel.

Kedua adalah keterbatasan produksi yang disebabkan banyak faktor, antara lain pemburukan kesuburan tanah akibat erosi terus-menerus atas lapisan tanah ("top soil"), perubahan pemanfaatan tanah pertanian untuk berbagai kegiatan seperti jalan, pabrik-pabrik, perumahan, pertumbuhan kota baru, dan kebutuhan industri yang lain.

Perubahan iklim merupakan faktor yang sangat serius dari sisi produksi, selain mencairkan es di kutub yang meninggikan permukaan laut, juga mencairkan es di daerah pegunungan seperti Himayala yang mengakibatkan banjir merusak tanaman. Perubahan iklim juga mengacaukan musim yang berakibat kacauanya pola tanam, pola hujan dan kekeringan yang menyebabkan gejala El Nino dan La Nina, serta munculnya jenis penyakit dan serangga baru perusak tanaman.

Iwantono meminta agar pemerintah dapat merespon dengan tepat kedua faktor global di atas.

Mengenai masalah organisasi, Iwantono mengatakan HKTI di bawah kepemimpinan Oesman Sapta menyerukan kepada seluruh pengurus HKTI di tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan, dan para petani di seluruh Indonesia agar tidak terpancing tentang isu-isu di media masa tentang keabsahan maupun kepemilikan hak paten logo maupun mars HKTI.

Secara hukum HKTI dibawah kepemimpinan Oesman Sapta telah disahkan oleh Pemerintah sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-14.AH.01.06. tahun 2011 tertanggal 18 Januari 2011 sedangkan lagu Mars HKTI telah terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan No. C00201003231,dan Logo HKTI No. C00201003232, tertanggal 1 September 2010.

"Kami sangat yakin bahwa para pejabat di Kementerian Hukum dan Ham adalah orang-orang professional, yang telah bekerja secara profesional pula dalam menjalankan tugasnya. Karena itu diserukan agar semua pihak agar menghormati pemerintah yang telah bekerja secara profesional tersebut," katanya.

Untuk itu Iwantono meminta agar anggota HKTI tetap tenang dan bekerja seperti biasa. Kepada berbagai pihak, ia meminta agar tidak melakukan provokasi yang dapat bersifat kontra produktif terhadap proses pembangunan dan dalam upaya menyejahterakan petani Indonesia dengan isu-isu yang kurang relevan. Hendaknya kepada berbagai pihak yang merasa berkepentingan dalam kegiatannya menjunjung tinggi dan menghormati hukum dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.(*)

(T.U002/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011