Jakarta (ANTARA) - Konsultan Laring Faring Departemen THT-KL FKUI RSCM, Dr. dr. Fauziah Fardizza, Sp.THT-KL (K), FICS, mengatakan mendengkur saat tidur belum tentu menandakan gangguan obstructive sleep apnea (OSA).

Namun seseorang patut waspada jika dengkuran tersebut terdengar keras serta diikuti henti napas sejenak.

“Mendengkur yang benar adalah bunyi nafas teratur. Mendengkur itu adalah tertutupnya sebagian jalan napas. Sedangkan sleep apnea tertutupnya total jalan napas selama 10 detik yang kemudian diikuti dengan penurunan kadar oksigen,” ujar Fauziah saat webinar pada Rabu.

Selain dengkuran keras dan henti napas sejenak, gejala OSA juga ditandai dengan batuk-batuk serta tersedak saat tidur.

Pada anak kecil yang bernapas melalui mulut, biasanya mereka akan gelisah selama tidur karena berusaha mencari posisi yang nyaman untuk bernapas.

 Fauziah mengatakan bagian belakang hidung pada anak-anak terkadang ada kelenjar adenoid yang dapat mempengaruhi hambatan jalan napas. Kelenjar adenoid biasanya akan menghilang ketika anak berusia 7 hingga 8 tahun.

“Mendengkur yang berbahaya ini ternyata seperti fenomena gunung es. Pangkalnya saja yang terlihat di permukaan laut, sepertinya sedikit padahal di bawahnya itu banyak sekali,” ujarnya.

Fauziah mengatakan penelitian gangguan OSA belum banyak dan Indonesia masih membutuhkan lebih banyak penelitian lagi sehingga dapat memetakan data yang akurat.

Hasil penelitian oleh dokter spesialis neurologi Dr. Rimawati yang dipresentasikan di ASEAN Sleep Congress pada 2015 menyebutkan gangguan OSA di Indonesia terjadi 16,8 persen pada laki-laki dan 17 persen pada perempuan. Penelitian tersebut didapatkan dalam kasus yang ditangani Dr. Rimawati.

Selain itu, banyak orang yang tidak menyadari gejala dan bahaya OSA, terutama bagi mereka yang tidur sendirian dan tidak ada yang memperhatikan intensitas dengkuran, sehingga masih sedikit yang memeriksakan diri ke dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorok (THT).

Fauziah mengatakan OSA dapat terjadi karena jalan napas tersumbat atau terhalang oleh struktur lunak atau otot di belakang tenggorokan, seperti kelenjar adenoid, concha atau struktur lekukan bagian dalam hidung yang membesar, uvula yang panjang, serta amandel, bahkan posisi lidah yang terjatuh ke bagian dalam saat tidur juga dapat mempengaruhi keluar masuknya udara.

Henti napas ketika tidur atau OSA dapat menyebabkan penurunan oksigen di dalam tubuh. Badan menjadi stres dan akan bereaksi, salah satunya jantung berdebar lebih cepat dan pembuluh darah menyempit. Akibatnya tekanan darah menjadi tinggi, nadi semakin cepat, volume darah yang tinggi, inflamasi dan stres.

“OSA sendiri tidak menyebabkabkan henti napas permanen, tapi serangan jantungnya yang akan mengakibatkan kematian pada penderita OSA,” tutur Fauziah.

Penelitian Journal of the American College of Cardiology pada 2013 juga menyebutkan penderita OSA memiliki risiko tinggi kematian akibat komplikasi jantung. Yale School of Medicine pada 2007 juga memperingatkan bahwa OSA dapat meningkatkan risiko serangan jantung atau kematian sebesar 30 persen dalam periode waktu 4 hingga 5 tahun.

Tidak hanya serangan jantung, gangguan OSA juga meningkatkan risiko stroke sebanyak 2 hingga 3 kali menurut penelitian American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine pada 2010.

“Jadi, bila kita melihat gejala berhenti napas pada orang tua atau keluarga kita yang terjadi ketika tidur, atau melihat orang mudah sekali mengantuk di siang hari, sebaiknya lakukan pemeriksaan dan self-assessment sehingga akan membawa pasien tersebut untuk berobat dan akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari kasus OSA ini,” pungkas Fauziah.

Baca juga: Memahami penyebab munculnya dengkuran dan kiat menguranginya

Baca juga: Pandemi COVID-19 bikin orang susah tidur

Baca juga: Viral Andien tidur dengan mulut diplester, bahayakah?

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021