Selama ini saja mereka di dalam koalisi menyerang, apalagi jika keluar"
Jakarta (ANTARA News) - Tak menunggu lama sejak DPR RI menolak usul Hak Angket Mafia Pajak pada 22 Februari lalu, masa depan koalisi pendukung pemerintah seketika menjadi bahan perdebatan terpanas di negeri ini.

Yang berada di pusat perdebatan siapa lagi kalau bukan Partai Kesejahteraan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar. Partai Demokrat berulangkali mendesak kedua partai itu keluar dari koalisi karena manuver-manuvernya dianggap menyalahi kesepakatan koalisi.

2 Maret lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menyampaikan pernyataan keras soal mitra koalisi yang dianggap tidak sejalan dengan komitmen.

Bagaimanakah nasib PKS dan Gokar? Seperti apakah konstelasi politik Indonesia kelak dan bagaimana bangunan koalisi nanti?

Tentu saja pertanyaan itu tak perlu dijawab jika PKS dan Golkar tetap ada dalam koalisi, namun akan lain jika yang terjadi adalah yang sebaliknya.

Untuk menjawab ini, pekan lalu, saya menemui beberapa politisi, terutama Golkar, PKS, Demokrat, PDIP dan Gerindra.

Ketika itu, para politisi berbicara lebih hati-hati dari biasanya. Beberapa diantaranya enggan berkomentar banyak, bahkan demi sekadar berpendapat pun tidak.

"Tanya Anas saja," kata Marzuki Alie, pembesar Demokrat yang juga Ketua DPR, menunjuk Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum saat ditanyai soal kemungkinan struktur koalisi pasca ditolaknya hak angket mafia pajak.

Tapi, sepertinya gelombang politik dalam koalisi memang akan segera sampai di tepian jua.

Setelah Golkar dan PKS mendukung pengajuan hak angket di DPR dua pekan lalu, banyak yang percaya kesabaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah habis. Dia diyakini akan segera merombak kabinet dengan mencopot menteri-menteri dari Gokar dan PKS.

Sinyalemen perombakan koalisi makin jelas setelah Yudhoyono mengundang para petinggi Demokrat dan Ketua Umum PKB ke Wisma Negara, Rabu pekan lalu (2/3).

Keesokan harinya, giliran Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang dipanggil SBY.

Baik PKB maupun PPP adalah mitra koalisi pemerintah.

Rabu malamnya, Menteri Kordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyambangi kediaman Ketua Umum Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Keesokan harinya, Taufiq Kemas yang suami Megawati itu, berkoar-koar bahwa puterinya, Puan Maharani, telah berjumpa dengan Yudhoyono.  Namun dia enggan mengungkapkan hasil pertemuan itu.

Tidak masalah

Lebih dari dua pekan terakhir dan hari-hari ke depan ini, lalu lintas politik mendadak sangat sibuk. Manuver dilancarkan ke segala jurus, mencari peluang guna  memperkuat barisan. Dan tentu saja yang paling aktif adalah Partai Demokrat dan Yudhoyono.

"Komunikasi dilakukan tidak hanya dengan koalisi yang sekarang bersama-sama dengan pemerintah, tetapi dengan partai-partai politik yang lain, tentunya," kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha.

Sowan Hatta ke rumah Megawati menguatkan sinyalemen yang selama ini santer beredar bahwa Demokrat akan mengajak PDIP masuk dalam bagunan koalisi.

Beberapa kursi menteri konon dijanjikan untuk partai yang masih menegaskan diri oposisi itu, sementara sejumlah pembesarnya, diantaranya Pramono Anung, berulangkali mengatakan PDIP tetap di jalur oposisi.

Sejumlah politisi PDIP menguatkan pendapat Pramono itu, diantaranya Maruarar Sirait, Ketua DPP PDIP.

"Tidak ada itu. PDIP akan konsisten menjadi oposisi pemerintah," tegasnya via telepon. "Kalau ada yang ingin menjadi menteri maka itu adalah keputusan pribadi dan sebaiknya keluar dari partai," kata putera politisi senior Sabam Sirait itu.

Menurutnya konsistensi PDIP terhadap ideologi dan kepentingan rakyat mencegah mereka terlibat dalam transaksi politik dengan koalisi pemerintah yang digalang Demokrat.

Masalahnya adalah jika Golkar dan PKS nanti benar-benar di luar pemerintahan, maka pasti akan menambah barisan oposisi terhadap pemerintah.  Kedua partai ini bahkan mungkin akan jauh lebih keras, wong dalam koalisi saja mereka begitu aktif, apalagi di jalur oposisi.

Itu jelas ancaman bagi pemerintah, sekaligus menyaingin oposisi mapan seperti PDIP. "Kami tidak otomatis satu front dengan Golkar dan PKS," kata Maruarar.

Dia menyambung, "..karena parameter kami bukan kekuasaan, tetapi ideologi 'Pancasil 1 Juni' dan kepentingan rakyat."

Maruarar juga menegaskan PDIP tidak takut bersaing berbagi panggung oposisi dengan Golkar dan PKS karena yakin rakyat telah mengenali konsistensi mereka dalam menyuarakan kepentingan rakyat.

Sementara Demokrat yang merupakan partai utama pemerintah mengemukakan ketidakgentarannya menghadapi skenario oposisi Golkar dan PKS.

"Bubar atau pergantian koalisi tidak ada hubungannya dengan stabilitas pemerintahan," kata anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K. Harman.

"Selama ini saja mereka di dalam koalisi menyerang, apalagi jika keluar, tetapi bagi Demokrat tidak ada masalah," sambung Ketua Komisi III itu.

Begitu cepat

Golkar sendiri tampaknya berusaha untuk bertahan dalam koalisi. Setidaknya ini diungkapkan sejumlah petingginya. Namun jika itu yang terjadi, maka Yudhoyonolah yang harus meminta mereka minggat dari koalisi.

Dan ini berat, secara etis, tak pernah ada di dunia ini mitra koalisi dikeluarkan oleh mitranya yang lain.  Yang umum terjadi adalah salah satu pihak menyatakan keluar dari barisan koalisi.

"Tentu terlalu jauh untuk berpikir seperti itu," kata Nudirman Munir, anggota DPR dari Partai Golkar.

Mengapa terlalu jauh? "Karena Golkar dulu bukan meminta tetapi diminta untuk bergabung dengan koalisi. Dan bagi kita dia yang meminta, ya terserah dia kan," jawab anggota Komisi III DPR itu.

Namun jika Golkar dan PKS memang keluar dari koalisi, maka kandidat terkuat untuk menggantikannya adalah Partai Gerindra.

"Sudah dekat," kata Pius Lustrilanang, politisi dan anggota DPR dari Gerindra.

Saya berusaha mengorek lebih jauh maksud pernyataannya ini, namun Pius hanya berujar, "Tanya Fadli Zon saja."

Saat saya sibuk mengejarnya untuk mendapatkan keterangan lebih banyak mengenai predikat Gerindra dalam konstelasi politik nasional nanti, Pius berpapasan dengan politisi Partai Hanura, Akbar Faisal.

"Halo pak menteri," sapa Akbar kepada Pius, dengan nada seloroh.

Seloroh ini mungkin isyarat bahwa konfigurasi politik nasional memang akan segera berubah dan kabinet mungkin memang akan segera dirombak.

Gerindra sendiri, lewat Sekjen DPP Ahmad Muzani, akhirnya menyatakan secara eksplisit bahwa mereka bersedia ubergabung dengan koalisi. Syaratnya, kursi menteri pertanian dan BUMN harus menjadi milik mereka.

Sebuah keterusterangan yang menjadi pelajaran bagus bagi perpolitikan nasional, apalagi jika dikaitkan dengan platform perjuangan politik Gerindra.

Kini tinggal menunggu keputusan apa yang akan diambil Presiden Yudhoyono.

Jika itu terjadi, maka semakin kuatlah keyakinan orang bahwa tidak ada yang pasti dalam politik, setidaknya di Indonesia. Perubahan bisa terjadi begitu cepat, begitu pragmatis.

"Politik itu last minute," kata politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011