kalau waktunya enggak laku ya enggak laku saja
Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu, aktor Korea Selatan Kim Seon-Ho ramai jadi perbincangan karena tudingan sang mantan kekasih yang memaksanya aborsi.

Di luar benar tidaknya rumor itu, nyatanya Ki Seon-Ho telah jadi sasaran cancel culture yang merugikannya baik secara material maupun non-material.

Daftar kerugian Kim Seon-Ho di antaranya adalah keluarnya dia dari variety show "2 Days & 1 Night Season 4" yang tayang di KBS2 terkait dengan kontroversi itu, belum lagi nama dia dihapus dari setidaknya dua film terjadwal yakni “Sad Tropics” arahan sutradara Park Hoon Jung dan film komedi romantis besutan sutradara Lee Sang Geun “2 O’Clock Date”.

Ditambah lagi, milyaran kontrak melayang saat brand-brand yang menggunakan wajahnya satu-persatu mencopotnya dari image mereka.

Di era serbadigital dan menjamurnya media sosial, Millenials dan Generasi Z memiliki cara baru untuk mendisiplinkan tokoh publik lewat cancel culture.

Meski istilahnya terdengar baru, namun praktik mempermalukan seseorang secara publik ini sudah lama dilakukan masyarakat.

Praktiknya terabadikan dengan baik di sejumlah karya sastra misalnya "The Scarlet Letter" karya Nathaniel Hawthorne di mana sang tokoh utama Hester Prynn secara harfiah diarak keliling kota dengan kalung huruf "A" sebagai simbol bahwa dia sudah melakukan perzinahan.

Baca juga: Mantan pacar Kim Seon Ho unggah permohonan maaf

Baca juga: Mantan pacar Kim Seon-ho ambil tindakan hukum atas komentar kebencian


Makna

Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Inggris dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Eri Kurniawan, M.A., Ph.D menjelaskan istilah cancel culture dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "budaya pembatalan" atau "budaya pengucilan" yang merujuk pada fenomena sosial di mana seseorang (biasanya seorang figur publik) dikucilkan atau dikeluarkan dari lingkaran sosialnya.

"Misalnya dalam bentuk pembatalan kontrak kerja sama secara tiba-tiba, karena dia ditilik melakukan sesuatu yang tidak pantas," kata Eri yang pernah menjabat sebagai Presiden Asosiasi Linguistik Terapan Indonesia tersebut.

Secara sederhana, kata dia, budaya ini identik dengan fenomena boikot publik terhadap tokoh atau selebritas yang melakukan pelanggaran sosial.

"Yang menarik, budaya pembatalan ini dieksekusi oleh lembaga profesional atau perusahaan, buah dari dorongan publik dan upaya mereka untuk menghindari kerugian dari kemungkinan rusaknya nama baik mereka."

Cancel culture adalah istilah baru di Indonesia. "Populer dikenal publik kita justru istilah asingnya "cancel culture" di tengah ramainya budaya Korsel dengan semua produk hiburannya dan beberapa kasus selebritas yang tiba-tiba dibatalkan kontraknya secara sepihak oleh perusahaan iklan dan lain sebagainya. Cancel culture sendiri dianggap merupakan varian dari "call out culture" yang sudah lebih dahulu muncul dari 2014 dalam industri lagu di AS," kata Eri.

Baca juga: Dispatch bongkar sejarah kencan Kim Seon Ho dan mantan kekasihnya

Baca juga: Agensi Kim Seon-ho menolak tanggapi artikel Dispatch


Efektivitas

Cancel culture dinilai efektif dalam memerangi seksisme, rasisme, dan berbagai jenis pelecehan, atau juga perbuatan merugikan yang berbahaya orang lain.

"Itu adalah sebuah boikot budaya, sebuah kesepakatan untuk tidak menggaungkan, memberikan uang kepada seseorang," kata Lisa Nakamura, profesor dari University of Michigan, Amerika Serikat dikutip dari New York Times.

Pada dasarnya, ketika seseorang/kelompok pernah mengatakan atau melakukan kesalahan di masa lalu atau saat ini, masyarakat punya kekuatan untuk berhenti mendukung dan menyingkirkan mereka dari lingkungannya secara efektif.

Hal tersebut pada akhirnya bisa membuat seseorang menjadi lebih bertanggung jawab atas tindakannya. "Cancel culture mencegah orang-orang menyebalkan melakukan dan mengatakan hal-hal yang buruk," kata Lisa menambahkan.

Cancel culture dapat mendorong perubahan sosial maupun mengatasi beragam ketidaksetaraan. Misalnya saja, di tahun 2016 sejumlah aktor dan aktris Hollywood berbondong-bondong memboikot ajang penghargaan film, Oscar karena dianggap didominasi oleh nomine berkulit putih lewat gerakan #OScarsSoWhite.

Gerakan tersebut membuahkan hasil. Pada 2019 Oscar mencatat nomine kulit hitam terbanyak sepanjang sejarah di ajang tersebut. Dampak dari cancel culture membuat banyak orang tergerak untuk memerangi rasisme di industri film.

Namun, meski memiliki dampak positif dengan mendorong perubahan sosial, cancel culture dapat pula berdampak secara psikologis.

Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) Sitawaty Tjiptorini, MBA, M.Psi, Psikolog menjelaskan bahwa cancel culture terjadi saat masyarakat merasa perilaku seorang publik figur meresahkan masyarakat maka seorang individu bisa mengajak masyarakat luas untuk melakukan disiplin kepada sang publik figur.

Bagi para pelaku alias canceler, cancel culture bisa memberikan rasa kuasa dan kontrol atas seseorang karena perilakunya dinilai tidak berterima dengan norma masyarakat.

"Dia mempunyai tools seperti men-cancel di internet pesohor yang perilakunya tidak sesuai ekspektasi mereka, menyinggung perasaan masyarakat umum atau tidak sesuai dengan norma masyarakat sehingga meresahkan bagi banyak orang. Apalagi jika beramai-ramai mereka bisa memberikan argumen bahwa perilaku itu tidak sesuai kriteria norma."

'Bagi canceler (pelaku) ini akan memberikan power bagi mereka bahwa dengan meng-cancel seseorang dan memberikan argumentasi yang ditunjang data-data yang valid dan reliable sesuai norma masyarakat umum dia bisa melakukan pendisiplinan pada sang pesohor bahwa perilakunya tidak acceptable," kata dia menambahkan.

Dampak bagi individu yang ter-cancel (canceled) kata Sitawaty adalah stres hingga depresi selain terisolasi secara sosial karena merasa dikucilkan.

"Ini akan membuat stress dan depresi apalagi jika pendapatannya turun drastis karena tidak ada yang mau kerja sama dengan dia," katanya.

Sementara bagi masyarakat yang hanya mengamati fenomena tersebut, menurut teori belajar sosial dari Albert Bandura, kata Sitawaty, orang tersebut bisa mawas diri.

"Dia bisa melihat bahwa seseorang harus berhati-hati untuk berperilaku atau mengatakan sesuatu atau melemparkan suatu isu, dampak yang dialami si canceled dan canceler ini lantas diamati juga oleh orang di luar yang bertikai dan dia akan melihat kalau dampak buruk dia tidak akan ikut-ikutan," kata Sitawaty.

Baca juga: Saipul Jamil siap luncurkan album baru usai bebas dari penjara

Baca juga: Kim Seon-ho akan bintangi film "Sad Tropical"

Halaman berikutnya: Saipul Jamil vs petisi

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021