Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Banten, Oksidelfa Yanto mengatakan penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia mendesak untuk segera dilakukan, khususnya dalam menanggulangi masalah overcrowded (kepadatan penghuni) di lembaga pemasyarakatan (lapas).

“Keadilan restoratif ini melibatkan pelaku, korban, dan keluarga korban. Jadi masalah overcrowded di lembaga pemasyarakatan saat ini, pendekatan restoratif mendesak dilakukan,” kata Oksidelfa Yanto saat menjadi narasumber dalam webinar nasional Fakultas Hukum Universitas Pamulang bertajuk “Relevansi Penerapan Restorative Justice dengan Pengurangan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Prodi Ilmu Hukum S1 Universitas Pamulang, dipantau dari Jakarta, Senin.

Ia memaparkan kepadatan penghuni lapas di Indonesia berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM per Maret 2021. Tercatat total penghuni lembaga pemasyarakatan di Indonesia mencapai 255.435 orang, sedangkan kapasitasnya hanya mampu menampung 135.647 orang. Artinya, lapas di Indonesia mengalami overcrowded sebanyak 88 persen dari kapasitas yang ada.

Baca juga: Kapolda Sumut: Kedepankan keadilan restoratif tangani tindak pidana

Oksi, sapaan akrab Oksidelfa Yanto menjelaskan beberapa faktor yang memengaruhi kepadatan penghuni lembaga pemasyarakatan di Tanah Air, mulai dari jumlah lapas yang tidak sebanding dengan penghuni, masa tahanan terlalu lama, hingga banyaknya pengguna narkotika yang ditahan daripada direhabilitasi.

Implementasi keadilan restoratif, lanjut Oksi, sesungguhnya bisa memberikan manfaat lain di antaranya, menurunkan residivisme atau kecenderungan individu ataupun kelompok untuk mengulangi tindak kejahatan meskipun sudah pernah dihukum, mengurangi penumpukan perkara, meningkatkan kualitas pembinaan di lapas, dan meningkatkan peran masyarakat untuk peduli terhadap warga binaan lembaga pemasyarakatan.

Oksi menilai pengaturan tentang keadilan restoratif di Indonesia sudah jelas sehingga mudah untuk segera diterapkan.

Baca juga: Jaksa Agung: Keadilan restoratif rawan disalahgunakan

Ada Surat Edaran Kapolri Nomor 8 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

Ada pula keadilan restoratif bagi anak dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan keadilan restoratif di lapas yang diatur oleh Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

“Ada juga Surat Telegram Kapolri pada 22 Februari 2021 yang menyatakan bahwa kasus yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice, yaitu kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan,” jelas Dekan Fakultas Hukum Universitas Pamulang ini.

Sementara itu, tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama, diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif.

Baca juga: Urgensi penerapan keadilan restoratif bagi pecandu narkotika

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021