Jakarta (ANTARA) - Nusantara memiliki kekayaan energi yang tidak terkira, khususnya dalam energi baru terbarukan. Terik yang menyengat kadang tak tahan dan terucap sumpah serapah, nyatanya mampu diubah menjadi sumber energi listrik dengan segala manfaatnya.

Energi surya menjadi berkah tak terbendung dalam paparannya terpancar sepanjang tahun. Tidak semua belahan dunia memiliki surya yang berlimpah, sebuah takdir anugerah dari cincin khatulistiwa yang melintang di Indonesia.

Tidak ingin, menepikan berkah, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menangkap peluang untuk mengembangkan sebesarnya melalui pemanfaatan energi surya, demi menekan dampak perubahan iklim yang semakin hangat dibahas sebagai isu global.

Bersambut dengan penanganan global, PLN bahkan mampu mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk diekspor ke negara tetangga, Singapura. Transfer yang terjadi menjadi dua arah, di mana Indonesia memiliki energi surya melimpah dan Singapura memiliki teknologi mengenai energi terbarukan.

Bright PLN Batam, anak Perusahaan PT PLN (Pesero), bersama PT Trisurya Mitra Bersama (Suryagen) dan perusahaan pengembang energi baru terbarukan (EBT) Singapura, Sembcorp Industries (Sembcorp) telah menandatangani perjanjian pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan daya sekitar 1GWp.

PLTS itu didukung dengan sistem penyimpanan listrik Tenga Surya dalam skala besar yang akan di ekspor ke Singapura melalui kabel bawah laut.

Bentuk simbiosis mutualisme tersebut mampu menyatukan dua negara dalam mengatasi perubahan iklim pada masa transisi energi untuk mewujudkan zero carbon, seperti ditetapkan pada COP Paris 2015.

Untuk mewujudkan zero carbon, COP Paris 2015 telah memutuskan untuk menjalin kerja sama antar negara di bidang keuangan, teknologi, dan pengembangan kapasitas (capacity building) dalam rangka mengatasi perubahan iklim.

Salah satunya adalah kerja sama antar negara dalam pengembangan EBT, yang dilakukan oleh Bright PLN – Semcorp.

Kerja sama ini sangat ideal lantaran Indonesia memiliki sumber tenaga mata hari yang melimpah, sedangkan Singapura mempunyai teknologi EBT. Selain itu, kedekatan wilayah geografis dan pengalaman Indonesia dalam pengembangan PLTS menjadi pertimbangan bagi Singapura untuk menjalin kerja sama tersebut.

Kerja sama itu juga memberikan mutual benefit bagi kedua negara. Singapura akan mendapatkan pasokan listrik EBT dari Indonesia dengan harga lebih murah, sedangkan Indonesia dapat mengekspor setrum dalam skala besar. Ekspor setrum tenaga surya ini akan menggantikan ekspor gas yang tidak terbarukan.

Ekspor listrik EBT itu juga semakin menggairahkan investasi pengembangan energi terbarukan di negeri ini. Pasalnya, proyek kerja sama itu menunjukan adanya peluang besar ekspor setrum EBT ke mancanegara.

Proyek kerja sama itu diperkirakan menambah sekitar 1.000 lapangan perkerjaan di Indonesia dan Singapura selama tahap konstruksi. Selain itu, Proyek pengembangan PLTS itu akan dapat meningkatkan kemampuan teknologi (technological capabilities) tenaga kerja Indonesia di bidang EBT.
Baca juga: Anggota Komisi VII DPR minta PLN percepat bangun pembangkit EBT
Baca juga: Kurang 130 MW, Bauran EBT disebut telah capai 270 MW pada 2021


Gairah EBT

Upaya menggerakkan gairah investasi energi baru terbarukan, direspons cepat dengan melahirkan anak usaha dalam manajerial EBT dalam berbagai skala.

Perusahaan berlabel plat merah PT Energy Management Indonesia (EMI) secara resmi telah “diadopsi” menjadi anak usaha dari PT PLN, seiring dialihkannya saham Seri B Negara yang ada di perseroan.

Masuknya EMI ke PLN akan memperkuat transformasi energi bersih, sekaligus mengakselerasi ekonomi hijau Indonesia menuju target Carbon Neutral 2060. Dalam hal ini merupakan langkah nyata dari PLN untuk menargetkan dekarbonisasi sebesar 117 juta ton CO2 sampai 2025.

Wakil Menteri BUMN I Pahala N. Mansury optimistis bergabungnya PT EMI sebagai keluarga besar PLN akan memberikan dampak positif, khususnya terkait upaya percepatan dekarbonisasi.

Komitmen menghadirkan ekonomi hijau diharapkan dapat mengakselerasi kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan.

Menuju ekonomi hijau, PLN menyiapkan setiap proyek-proyek pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT). Adapun, bergabungnya PT EMI sebagai anak usaha PLN maka ada empat sasaran utama.

Pertama, sinergi internal antara PT Energi Management Indonesia dengan PLN. Kedua, peningkatan kapasitas dan kapabilitas dalam penyediaan layanan.

Ketiga, ekspansi bisnis konservasi ke pasar eksternal. Keempat, penciptaan nilai di keseluruhan ekosistem energi nasional. Diharapkan, kehadiran PT EMI bisa membantu PLN dalam mengarahkan para pelanggannya untuk lebih efisien dalam menggunakan yang lebih bersih dan hijau.

Selain mendukung target dekarbonisasi sebesar 117 juta ton CO2 sampai 2025, kehadiran anak usaha baru juga akan berkontribusi melakukan dekarbonisasi sebesar 3,29 juta ton CO2 melalui proyek PLN. Tak hanya itu, EMI juga akan berperan dalam dekarboksilasi 4,19 juta ton CO2 di luar PLN.

Masuknya PT EMI menjadi keluarga besar PLN juga bukan kebetulan di saat Indonesia akan mengikuti Glasgow Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya pada awal November 2021.

COP adalah forum tingkat tinggi tahunan bagi 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya.

Peleburan EMI ke tubuh PLN, memberikan dukungan serta komitmen ambisi Indonesia dalam mengendalikan perubahan iklim dengan menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Pada kesempatan lainnya, sambutan bernada positif juga muncul dari Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan yang menyatakan bergabungnya PT EMI sebagai bagian PLN merupakan langkah yang tepat.

Menurut Mamit, melalui penggabungan ini, rencana kerja kedua korporasi bisa dilakukan sesuai dengan tujuan bersama. Sebagai perusahaan jasa energi (ESCo/Energy Service Company), maka target pemerintah untuk mencapai net zero emission di 2060 bisa terlaksana. Apalagi, rencana dalam RUPTL 2021-2030 yang mana porsi pembangkit EBT sebesar 51,6 persen bisa tercapai dengan penggabungan ini.

Walau tidak bisa langsung lepas dari energi fosil, sisi supply, saat ini, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih mendominasi sistem pembangkitan PLN dengan kontribusi sekitar 68 persen.

Tahapan monetisasi pembangkit berbasis batu bara hingga 2056 akan dilaksanakan bersamaan dengan pembangunan pembangkit EBT.

Mulai 2030 PLN akan memasuki tahap pertama mempensiunkan pembangkit fosil tua yang sub-kritikal sebesar 1 gigawatt (GW).

Kemudian pada 2035 memasuki tahap kedua, PLN akan kembali mempensiunkan PLTU sub-kritikal sebesar 9 GW, hingga target pada periode 2030 sampai 2056 mendatang, PLTU akan digantikan dengan energi baru terbarukan secara bertahap.

Upaya yang mulai dilakukan PLN adalah pencampuran biomassa ke PLTU batu bara atau co-firing. Hingga 2025, PLN menargetkan program co-firing dapat berjalan di 52 lokasi PLTU dengan kapasitas 10,6 giga watt (GW) dan kebutuhan pelet biomassa sebanyak 9 juta ton per tahun.

PLN juga sudah menyiapkan skenario carbon capture, utilization, and storage (CCUS) yang dalam roadmap akan mulai diterapkan setelah 2035. CCUS dinilai sebagai teknologi alternatif yang dari segi dampak lingkungan dan jaminan ketersediaan pasokannya relatif aman.

Dari sisi investasi, penerapan teknologi CCUS memang masih perlu dikaji lebih mendalam. Namun, investasi yang dibutuhkan diperkirakan masih memungkinkan untuk diterapkan pada pembangkit PLN yang masih layak beroperasi.

Korporat memproyeksikan teknologi penyimpanan listrik dalam bentuk baterai berukuran besar juga akan semakin efisien dan bermanfaat dalam pengelolaan listrik di Indonesia, terutama di sistim yang isolated atau off-grid.

Dengan begitu, secara ekonomi, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) akan lebih menguntungkan dibanding PLTU.

PLN terus berinovasi dalam mengembangkan teknologi fuel cell dan hidrogen sebagai sumber energi yang murah, andal dan aman. Ke depan, EBT bukan hanya sebatas energi yang intermiten, melainkan sebagai pemikul beban dasar (base load) yang akan bersaing dengan energi fosil.
Baca juga: Pemerintah dorong inovasi dan kolaborasi untuk kendaraan listrik
Baca juga: Menteri ESDM nilai "smart grid" inovasi ketenagalistrikan

 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021