Jakarta (ANTARA) - Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Thurman Saud Marojahan Hutapea mengatakan pembinaan keagamaan merupakan program prioritas untuk meminimalisasi dan mengatasi keberadaan LGBT di lembaga pemasyarakatan (lapas).

“Kita tahu program pembinaan beraneka ragam, mulai dari kemandirian, kepribadian, hingga lain sebagainya. Tapi, kita lebih fokus orientasinya pada lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) ini, yaitu pemberian pembinaan keagamaan,” kata Thurman Saud Marojahan Hutapea saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertajuk “Fenomena LGBT pada Kehidupan Narapidana” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, dipantau dari Jakarta, Rabu.

Menurutnya, fenomena LGBT di antara warga binaan pemasyarakatan memang ditemukan di beberapa lapas di Indonesia. Ada beragam faktor penyebab kemunculan para pelaku penyimpangan seksual itu. Salah satu yang kerap ditemukan pihak lapas adalah kurangnya pengetahuan keagamaan.

Baca juga: Pengamat dukung pemecatan prajurit TNI terlibat LGBT

Beberapa faktor penyebab lain, lanjut Thurman, di antaranya adalah “over” kapasitas di lapas dan adanya narapidana yang lemah dan kuat. Pihak yang kuat dan memiliki kelainan seksual tersebut dapat memaksa pihak lemah untuk melayaninya.

Selanjutnya, ada pula faktor dari kebiasaan curhat pribadi di antara sesama warga binaan sehingga bisa muncul ketertarikan yang tidak seharusnya terjadi.

Ketiga adalah kodrat biologis manusia dalam hak seksual. Apabila seorang warga binaan pemasyarakatan telah berpuluh-puluh tahun mengalami masa hukuman dan tidak pernah memenuhi kebutuhan biologisnya, tidak menutup kemungkinan ia menjadi LGBT.

Faktor selanjutnya adalah kurangnya kepedulian keluarga terhadap perilaku seksual yang menyimpang, katanya.

Baca juga: Psikolog: Syarat masuk TNI bebas dari pengaruh LGBT

“Jadi, sebenarnya keluarga itu sudah tahu ada penyimpangan dari awal dalam perilaku si A, misalnya. Namun, tidak direspons oleh keluarga sehingga terbawa terus masuk ke dalam lapas, bertemu dengan LGBT yang lain, membentuk komunitas tersendiri, dan semakin kuat perilaku penyimpangannya,” jelas Thurman.

Ada pula faktor pergaulan dan kehidupan yang lama di lapas. Menurut Thurman, ketika warga binaan terbiasa tidur bersama bertahun-tahun di lapas dengan teman sesama jenis, hal itu bisa menyebabkan terjadi penyimpangan seksual.

Untuk meminimalisasi keberadaan LGBT, ujarnya, selain pembinaan keagamaan, ada empat program lain yang dilakukan pihak lapas di antaranya adalah pemberian kegiatan pembinaan yang padat dan dilakukan secara konsisten, penyuluhan kesehatan tentang bahaya penyakit LGBT, dan pemasangan kamera pemantau di beberapa area, seperti kamar dan lorong-lorong lapas.

Baca juga: Polri akan tindak tegas bila ada anggotanya tergabung dalam LGBT

Ada pula upaya memaksimalkan peran petugas wali pemasyarakatan untuk setiap warga binaan mereka sebagai tempat menuangkan keluh kesah atau curahan hati dan tempat berdiskusi, paparnya.

Dalam webinar yang diselenggarakan untuk memperingati Dies Natalies ke-57 Politeknik Ilmu Pemasyarakatan itu, Thurman berharap upaya yang dilakukan pihak lapas melalui beragam program pembinaan yang dikhususkan kepada warga binaan LGBT dapat bekerja secara maksimal. Dengan demikian, persoalan penyimpangan seksual yang berbahaya di lapas tersebut dapat diatasi secara menyeleruh.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021