Gellwyn menambahkan, bahwa di luar anggaran pemerintah pada dasarnya banyak potensi sumber pembiayaan untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Potensi sumber pendanaan tersebut antara lain, dalam bentuk user fees, biaya perijinan, pajak, biaya denda akibat pelanggaran, pollution charges, dana hibah dari dalam dan luar negeri, program Corporate Social Responsibility (CSR) dari pihak swasta, Payments for Environmental Service (PES) seperti Biodiversity Offsets dan Carbon Market dan sumbangan-sumbangan pribadi dan NGO.
Sampai saat ini, pembiayaan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan bersumber dari anggaran pemerintah (APBN) dan sumber lain seperti bantuan luar negeri, dukungan program dari NGO, dan hibah lainnya. Namun dari sisi jumlah masih jauh dari kebutuhan biaya minimum yang diperlukan. Dari beberapa kajian mengenai pembiayaan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, secara umum kebutuhan pengelolaannya bervariasi antara US $ 7,5 per hektar per tahun untuk kawasan yang luasnya lebih dari 1 (satu) juta hektar, sampai dengan US $ 110 per hektar per tahun untuk kawasan yang luasnya kurang dari 20 ribu hektar.
Dalam pengelolaan keanekaragaman hayati laut Indonesia diharapkan tercipta "Amazon of the Sea", sebuah konsep pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan peran-peran stakeholder untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang mandiri. Salah satu pilarnya adalah terciptanya suatu model pengelolaan pendanaan berkelanjutan (sustainable financing) bagi pengelolaan kawasan-kawasan konservasi perairan tersebut. Sesungguhnya di Indonesia banyak model yang bisa dikembangkan, salah satunya adalah Trust Fund konservasi laut.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Dr. Ir. Yulistyo Mudho, M.Sc, Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811836967)
Pewarta: Adityawarman
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2011