Surabaya (ANTARA News) - Mendiknas Prof Dr Ir Mohammad Nuh DEA menghormati gugatan 12 guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya terkait pemilihan rektor (pilrek) setempat kepada Mahkamah Agung (MA) yang didaftarkan dengan nomor 03/2011/HUM.

"Itu hak setiap individu untuk mengajukan gugatan atas kebijakan pemerintah dan Mendiknas menghormati hak itu, asalkan mengatasnamakan individu," kata staf khusus Mendiknas bidang komunikasi media, Sukemi, melalui telepon, Jumat.

Ia mengemukakan hal itu menanggapi gugatan 12 guru besar ITS kepada MA pada Kamis (24/3) untuk memohon "judicial review" (uji materi) atas keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 24 Tahun 2010.

"Gugatan `judicial review` (uji materiil) terhadap Permendiknas itu diajukan, karena Permendiknas itu tidak sesuai dengan demokratisasi kampus," kata kuasa hukum ke-12 guru besar itu, Trimoeldja D Soerjadi, di Surabaya (25/3).

Ke-12 guru besar ITS yang menggugat antara lain Prof Ir Djauhar Manfaat MSc PhD, Prof Dr Ir Bangun Mulio Sukojo DEA, Prof Dr Basuki Widodo MSc, Prof Ir Joni Hermana MSc.ES, Prof Dr Ir Indarto DEA, Prof Dr Ir Gede Wibawa M.Eng, dan sebagainya.

Menurut Sukemi, Kemdiknas akan menghormati gugatan individu, karena pemilihan rektor ITS secara institusi sudah disepakati oleh pimpinan ITS dan panitia pemilihan melalui pernyataan tertulis sebelum proses pemungutan suara yang dilakukan antara rektor dan panitia pemilihan dengan Dirjen Dikti Kemdiknas.

"Proses gugatan individu itu tidak akan mempengaruhi ketetapan dan rencana pelantikan rektor dari hasil kesepakatan antara pimpinan perguruan tinggi dan panitia pemilihan dengan Dirjen Dikti Kemdiknas," katanya.

Apalagi, katanya, ke-12 guru besar itu juga ikut dan hadir dalam proses pemilihan yang saat itu sudah disetujui dalam Sidang Senat Institut dan Kemdiknas akan berpegang pada hasil formal itu.

Sebelumnya (25/3/2011), kuasa hukum ke-12 guru besar ITS, Trimoeldja D Soerjadi, menegaskan bahwa uji materi itu dilakukan untuk Permendiknas 24/2010 dan PP 60/2010, terutama pasal 58 F ayat 1 huruf A dalam PP 60/2010.

Dalam Permendiknas 24/2010 itu, hak suara sebesar 35 persen yang dimiliki Mendiknas itu tidak demokratis. "Anggota Senat saja satu orang hanya memiliki satu suara, kenapa Mendiknas bisa sebanyak itu. Itu menyalahi prinsip `one man one vote` dalam demokrasi," katanya.

Dalam pilrek ITS Surabaya, pilihan terbanyak versi Senat batal terpilih, karena pilihan Mendiknas tidak sesuai dengan Senat, meski pilihan Senat ITS juga berbeda dengan pilihan sivitas akademika ITS.

Sebelumnya (31/10/2010), Mendiknas membantah dirinya melakukan intervensi pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PT) dengan mengeluarkan PP 66/2010 dan Permendiknas 24/2010 tentang pemilihan rektor.

"Itu sudah lama kami bahas sejak MK menghapus UU BHMN, apalagi rektor sudah lama tidak menggunakan pola eselonisasi. Kalau ada eselonisasi memang kewenangan Presiden, tapi kalau tidak ya menteri teknis terkait," katanya. (E011/I007/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011