Jakarta (ANTARA) - Penelitian oleh Health Collaborative Center (HCC) menunjukkan bahwa orang Indonesia yang belum dan enggan melakukan vaksinasi COVID-19 cenderung tidak menerapkan protokol kesehatan (prokes) dengan baik sehingga berpotensi menjadi agen penular.

“Ternyata dari 35 persen responden atau orang Indonesia yang belum atau tidak mau divaksin, yang mengejutkan kami adalah skor CPBI mereka justru sangat rendah,” kata pendiri HCC dan dokter lulusan FKUI, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, saat konferensi pers virtual, Senin.

Skor COVID-19 Prevention Behaviour Index (CPBI) sendiri merupakan kuisioner yang dijadikan standar untuk menggambarkan kondisi sebenarnya dalam mengidentifikasi perilaku pencegahan COVID-19 di suatu komunitas.

Semakin angka skor CPBI tinggi, maka tindakan atau perilaku pencegahan COVID-19 semakin membaik, dan begitu pula sebaliknya.

Penelitian CPBI yang dilakukan HCC ini mengambil sampel 1800 responden dari 24 provinsi di Indonesia. 35 persen responden yang tidak mau dan belum divaksin hanya mendapatkan skor CPBI sebesar 48 dari rentang 10 hingga 60. Sementara 65 persen lainnya yang telah divaksin mendapatkan skor CPBI sebesar 52 dari rentang angka yang serupa.

“Itu artinya mereka yang tidak mau divaksin justru ogah-ogahan dalam menerapkan prokes dibandingkan mereka yang sudah divaksin,” tutur Ray.

Ia mengatakan pengabaian protokol kesehatan pada responden yang belum divaksin antara lain enggan menggunakan masker, masih membuang ludah sembarangan, jarang mencuci tangan, serta tidak mau melakukan social distancing.

Ray mengatakan tingkat pendidikan seseorang tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk melakukan vaksinasi. Para responden yang enggan divaksin mengaku belum percaya dengan manfaat dan efektivitas vaksin.

Ray menuturkan bahwa vaksinasi memang tidak mencegah 100 persen penularan COVID-19 sebab masih terdapat potensi virus bermutasi, namun setidaknya dapat meminimalisir gejala COVID-19 yang dialami seseorang.

“Yang perlu diingat, kalau di komunitas atau masyarakat masih ada anggota yang belum atau tidak mau divaksin dan skor CPBI mereka jelek, mereka ini tetap bisa menjadi agen penular. Seberapa kecil pun mereka,” ujarnya.

Ia mengatakan potensi comunal influence sangat tinggi dari mereka yang memiliki skor CPBI rendah sehingga bisa menjadi potensi kegagalan program pengendalian COVID-19. Ray menekankan mereka yang belum divaksin tidak boleh ditinggalkan begitu saja, perlu ada edukasi lebih lanjut yang menyasar mereka.

“Jangan sampai kondisi ini menjadi masif, kronik, dan berkepanjangan. Harus diintervensi dengan meningkatkan kapasitas knowledge lewat media,” tuturnya.

Ray merekomendasikan bahwa cakupan vaksin dosis lengkap atau 2 kali harus dilakukan secara maksimal. Ia mencatat bahwa dosis vaksin kedua beru mencapai sekitar 30 persen, meskipun dosis pertama sudah sangat tinggi di Indonesia.

Ia juga mengatakan bahwa gelombang ketiga COVID-19 berpeluang besar dapat terjadi apabila masih banyak yang tidak taat prokes dan belum divaksin.

“Kita harus mendorong dan membantu pemerintah untuk memaksimalkan yang dapat vaksin itu harus mayoritas, kalau bisa 100 persen,” pungkasnya.


Baca juga: Tetap waspada COVID, Sharp ajak belanja dari rumah

Baca juga: Penyandang diabetes perlu segera ke dokter bila tiba-tiba sakit berat

Baca juga: 930 personel gabungan amankan "bubble" IBF 2021 di Bali 



#ingatpesanibu 
#sudahdivaksintetap3M 
#vaksinmelindungikitasemua 

 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021