Jaksa Agung harus memiliki kompetensi manajerial yang telah teruji dari kalangan internal kejaksaan.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak memberikan tujuh poin masukan dalam revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang saat ini dalam pembahasan di Komisi III DPR RI.

"Satu hal yang menggembirakan karena respons Komisi III DPR draf RUU Kejaksaan yang disampaikan, kami lihat substansi masukan dari Komisi Kejaksaan terakomodasi. Ada tujuh poin masukan kami dalam revisi UU Kejaksaan," kata Barita dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu.

Poin pertama, menurut dia, Jaksa Agung berasal dari jaksa sehingga perlu ada penambahan syarat menjadi Jaksa Agung, yaitu lulus pelatihan pembentukan jaksa.

Ia menilai Jaksa Agung harus memiliki kompetensi manajerial yang telah teruji dari kalangan internal kejaksaan sehingga memiliki pemahaman terhadap kultur, karakteristik, organisasi, dan tata kerja serta peraturan internal di Kejaksaan.

"Dalam pergaulan internasional, Pasal 53 ayat (1) Statuta Roma menyatakan bahwa penyidik perkara pelanggaran HAM berat adalah jaksa. Oleh karena itu, apabila kewenangan tersebut dilakukan bukan seorang jaksa, pengadilan berpotensi menolak kasus tersebut," ujarnya.

Barita menjelaskan poin kedua, pencantuman asas dominus litis atau pengendali penanganan perkara pidana sangat penting dalam RUU Kejaksaan sebagai penyandang penguatan institusi yang merupakan suatu kebutuhan hukum dan akan menjawab dua persoalan pokok.

Menurut dia, dua persoalan pokok tersebut adalah pertama menghindari bolak-balik dan hilangnya berkas perkara dalam tahap penyidikan yang akan menimbulkan tidak selesainya penanganan perkara.

"Kedua, penguatan kejaksaan selaku dominus litis diharapkan dapat mengandung perubahan pendekatan yang semula mengedepankan pembalasan dan pencegahan. Namun, harus mempertimbangkan secara seksama kemanfaatannya," katanya.

Poin ketiga, pengecualian jaksa dari aparatur sipil negara (ASN) karena jaksa memiliki lembaga pengawas khusus pengawasan terhadap profesi jaksa dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Komisi Kejaksaan.

Menurut dia, profesi jaksa tidak dapat dimasukkan dalam rumpun jabatan fungsional ASN dan pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT) di kejaksaan berbeda dengan ketentuan di UU ASN.

Poin keempat, lanjut Barita, kewenangan Jaksa Agung beracara di Mahkamah Konstitusi (MK) karena Jaksa Agung memiliki kedudukan sebagai Jaksa Pengacara Negara Tertinggi penjaga kewibawaan pemerintah dan negara.

"Menkumham bukan kuasa satu-satunya dari Presiden dalam pengujian UU di MK, sesuai dengan Pasal 51 ayat (2) Peraturan MK Nomor 9 Tahun 2020," katanya.

Poin kelima, kewenangan kejaksaan dalam perampasan aset karena insititusi tersebut memiliki tanggung jawab dan kewenangan atas seluruh barang bukti yang disita dalam tahap penuntutan untuk kepentingan pembuktian perkara maupun kepentingan eksekusi.

Menurut dia, apabila perkara sudah ada di pengadilan, benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa.

Selanjutnya, poin keenam, kejaksaan sebagai central authority, yaitu kejaksaan sebagai pengendali penanganan perkara pidana, kejaksaan harus diberikan kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi central authority seperti ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

Poin ketujuh, kata dia, pengamanan terhadap jaksa dan keluarga karena negara harus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa penuntut umum beserta keluarganya dilindungi negara.

Baca juga: Komisi III DPR menyampaikan 14 poin revisi UU Kejaksaan

Baca juga: Anggota DPR RI: Revisi UU Kejaksaan optimalkan kekuatan kelembagaannya


Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021