Pasar kosmetik nyamplung itu berada di puncak teratas dari segitiga pasar nyamplung
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Budi Leksono mengatakan diperlukan strategi khusus untuk mengembangkan minyak dari pohon nyamplung sebagai bahan bakar nabati.

Saat ini, minyak nyamplung paling banyak digunakan untuk kosmetik dan obat. Untuk ini minyak nyamplung bahkan telah diekspor. Ke beberapa negara.

Namun, meski dihargai hingga Rp350 ribu per liter untuk bahan kosmetik dan obat, pasar kosmetik minyak nyamplung sebetulnya sangat kecil.

"Pasar kosmetik nyamplung itu berada di puncak teratas dari segitiga pasar nyamplung, jadi jumlahnya terbatas, sementara pasar BBN ada di bawah," kata Budi dalam webinar "Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati" yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Untuk menjadikan nyamplung sebagai bahan bakar nabati, pemerintah harus membuat strategi pengembangan minyak nyamplung agar harganya bisa lebih murah dari bahan bakar minyak bumi. Dengan demikian, bahan bakar nabati tidak hanya didapatkan dari minyak kelapa sawit.

Baca juga: Peneliti KLHK siapkan nyamplung untuk jadi bahan bakar nabati

Baca juga: BPPT dorong optimalisasi pemanfaatan bioenergi


Menurut Budi, minyak nyamplung dari pohon di 12 wilayah di Indonesia, memiliki nilai asam sekitar 50 mgKOH per gram, sementara minyak untuk bahan bakar nabati seharusnya memiliki kadar asam di bawah 0,6 mgKOH per gram.

"Jadi kita harus menurunkan nilai asamdari sekitar 50 ke 0,6 sehingga proses yang dilalui ini cukup panjang," katanya.

Setelah pengeringan, secara manual biji nyamplung masih mesti melalui proses pengepresan, degumming, esterifikasi, transester, pencucian, dan pengeringan sehingga dapat digunakan sebagai biodiesel. Sementara itu secara mekanik, setelah pengeringan biji, proses pengepresan dan pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung dapat dilakukan dengan mesin.

Menurut Budi, pengembangan minyak nyamplung sebagai bahan bakar nabati di samping minyak kelapa sawit perlu dilakukan mulai dari sekarang. Dengan demikian, Indonesia tidak tertinggal dari negara lain dalam mendiversifikasi bahan energi baru dan terbarukan (EBT).

"Kita lihat Brazil dan Amerika Serikat sudah ekspor bioetanol. Kita punya tanaman untuk bioetanol yang produktivitasnya mungkin lebih besar dari yang dimiliki Eropa dan AS, ini yang mesti kita kembangkan pelan-pelan dan pastikan ke depannya," katanya.
Baca juga: Brasil berbagi praktik pengembangan BBN dengan Indonesia

Baca juga: RI-Selandia Baru bangun kemitraan di bidang transisi energi


Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021