Jakarta (ANTARA News) - Hasil penelitian sejumlah mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, menyebutkan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menguntungkan koruptor karena justru membuat rakyat Indonesia mensubsidi para koruptor.

Dalam bahan hasil penelitian sejumlah mahasiswa yang mengambil konsentrasi Ekonomika Kriminalitas, pada jurusan Ilmu Ekonomi, Program Magister Sains dan Doktor, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM yang diterima ANTARA di Jakarta, Minggu, juga menyebutkan, bahwa UU Antikorupsi seolah berpesan bahwa koruptor akan diuntungkan jika mereka bisa melakukan korupsi sebanyak-banyaknya.

RUU Antikorupsi atau Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang saat ini hendak diajukan pemerintah justru semakin meningkatkan intensitas subsidi kepada koruptor.

Dalam pasal 5, 6, 8 dan 12 UU 20/2001 disebutkan bahwa denda untuk para koruptor paling tinggi adalah Rp1 miliar dan paling rendah Rp50 juta untuk jenis korupsi penyogokan, penggelapan dan korupsi oleh PNS atau penyelenggara negara.

Pencantuman hukuman denda maksimal kepada koruptor adalah tidak rasional, karena efek jera denda akan cepat menyusut sejalan dengan waktu.

Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa hukuman dalam UU Antikorupsi ringan, tidak menimbulkan efek jera dan justru memberikan insentif kepada koruptor untuk melakukan korupsi sebanyak-banyaknya maksimum denda Rp1 miliar untuk korupsi senilai tak terhingga, sementara hukuman mati hanya bisa dijatuhkan pada kondisi tertentu saja.

Penelitian itu juga berdasarkan pada data yang dihitung oleh Ekonom UGM Rimawan Pradiptyo dari hasil putusan mengenai kasus korupsi di Mahkamah Agung dari tahun 2001-2009.

Dari hitungan Rimawan, nilai biaya eksplisit (nilai riil) korupsi pada masa itu mencapai Rp73,07 triliun, namun total nilai hukuman finansial (berdasarkan putusan pengadilan) hanya Rp5,32 triliun atau hanya sekitar 7,29 persen dan itu belum menghitung biaya oportunitas korupsi atau biaya dampak dari uang yang hilang karena korupsi itu.

Kerugian negara yang muncul dihitung dari dana yang dikorupsi dikurangi nilai hukuman finansial atau Rp73,07 triliun dikurangi Rp5,32 triliun sama dengan Rp67,75 triliun dan itu harus ditanggung oleh para pembayar pajak terutama warga yang mengkonsumsi barang dan jasa, karena struktur penerimaan pajak di Indonesia didominasi penerimaan pajak tidak langsung atau non-pajak penghasilan.

Dari penelitian itu juga disebutkan, RUU Pemberantasan Tipikor atau amandemen UU 20/2001 memiliki kelebihan antara lain jenis tindakan yang termasuk dalam definisi korupsi makin luas, tidak saja di sektor publik namun juga di sektor swasta dan sektor publik internasional seperti pejabat publik asing dan pejabat organisasi Internasional publik, definisi korupsi di RUU lebih mendekati definisi korupsi di konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC) serta perampasan aset diatur secara lebih luas.

Namun, RUU itu juga memiliki kekurangan yaitu intensitas denda dan juga hukuman diturunkan dari maksimum Rp1 miliar menjadi hanya Rp500 juta, berapapun nilai korupsi yang dilakukan, menghapuskan hukuman mati, dan menghapuskan hukuman pembayaran uang pengganti, sehingga menutup celah untuk memiskinkan koruptor.

Penelitian juga menunjukkan bahwa kaitan antara RUU Antikorupsi dan UU Anti Pencucian Uang tetap tidak jelas dan pembuktian korupsi belum didasarkan pada hitungan biaya ekonomi, namun tetap didasarkan pada biaya eksplisit korupsi (uang yang dikorupsi) dan belum memperhitungkan biaya oportunitas yang hilang akibat korupsi.

RUU itu juga dinilai mereduksi dan memperlemah kedudukan KPK, karena tingkat pendeteksian (detection rate) semakin minimum.

Sebagaimana UU 20/2001, RUU Pemberantasan Tipikor belum memasukkan money politic sebagai bagian dari tindak pidana korupsi, meskipun tindakan tersebut merupakan "akar" dari suburnya budaya korupsi.
(D012/A041)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011