Jakarta (ANTARA News) - Dia lahir 48 tahun sebelum saya lahir.  Sudah pasti dia tidak mengenal saya, tapi sungguh saya merasa amat mengenalnya, bahkan jauh sebelum saya mengenal jurnalisme.  Adalah tulisan-tulisannya yang membuat saya dekat dengannya.

Salim Said mengatakan Pak Ros adalah wartawan paling cerdas. Saya setuju dengan Salim. Pak Ros adalah contoh intelektual yang dilahirkan karena merasa, melihat dan mencerap langsung kehidupan.

Bahasanya, seperti seharusnya para jurnalis menulis, adalah bahasa untuk semua, bahasa merasa, bahasa yang hidup, bahasa yang menjejak tanah.

Faktanya, hampir tak ada kolumnis hebat di dunia yang menulis tanpa kalimat-kalimat hidup dan lincah seperti ditulis Pak Ros. Bagi orang-orang seperti mereka, semakin mereka merasa dan melihat dunia itu kompleks, semakin ingin mereka menyederhanakan kekompleksan itu, setidaknya lewat berbahasa.

Dan Pak Ros, seperti intelektual besar Selo Soemardjan katakan soal perbedaan orang pintar dari yang tidak, berusaha menyederhanakan hal-hal sulit sehingga semua orang mengerti.

Itu adalah juga ciri seorang intelek. Isi lebih penting ketimbang cangkang. Pakaian boleh lusuh, tapi mata hati, integritas dan cakrawala berpikir tidak lusuh.

Satu hari di tahun 1997, dia memberi kami ceramah dalam satu pelatihan kewartawanan di PWI Jaya. Seorang wartawan dari majalah ibukota menanyainya tentang sesuatu.

Saya lupa apa yang ditanyakan si rekan wartawan, tapi dia menyapa Pak Ros dengan "anda", bukan "bapak" seperti umumnya orang Indonesia menyapa orang-orang yang lebih tua. Pak Ros sendiri memang jauh lebih tua dari kami, termasuk si wartawan yang bertanya itu.

"Saya tokh tidak muda lagi untuk dipanggil 'anda," katanya mengawali menjawab pertanyaan sang kawan.

Kalimat ini menempel ketat dalam memori saya hingga kini.  Saya tak menganggap kalimat itu sok senior, feodal, atau arogan. Bahkan jika saja Pak Ros mau seperti itu, saya pasti memahaminya karena dia memiliki bergunung reputasi sehingga dia boleh saja bersikap seperti itu.

Saya kemudian menyimpulkan mengapa dia mengritik sapaan "anda" dari si wartawan majalah tersebut. Itu mungkin karena Pak Ros amat mengetahui makna dan konteks kata "anda".

Berpuluh-puluh tahun menulis sudah pasti membuat Pak Ros paham betul arti, rasa, dan konteks sebuah kata dipakai.  

Dia memang tak gegabah mengobral kata, selalu berupaya menempatkan kata secara benar agar pesan tulisan sampai kepada pembaca. Bagaimana mungkin Anda bisa mengajak orang untuk memahami apa yang Anda tulis, jika Anda sendiri tidak paham bahasa. Begitu mungkin jalan pikiran Pak Ros.

Dia juga kerap berusaha meninggikan keindonesiaan, kendati dia acap menyelipkan kata dari bahasa asing, terutama Bahasa Belanda, dalam tulisan-tulisannya.

Lain dari itu, kedekatan dan kepekaannya dalam membaca peristiwa, dipandu oleh ketajamannya dalam berpikir, membuat Pak Ros terlalu sempit untuk sekadar menyandang label wartawan.

Oleh karena itu, seperti umumnya jurnalis hebat, Pak Ros adalah juga sastrawan, budayawan, dan seniman karena memahami betul rasa, dan itu membantunya tetap kritis hingga ajal menjemput.

Pak Ros mungkin tak pernah membongkar kebejatan rezim seperti Bob Woodward dan Carl Bernstein. Tapi lewat caranya, dia juga sebisa mungkin meluruskan ketidaklurusan.

Untuk itu, dia pernah diciduk penjajah, pernah disemprot rezim-rezim yang terkilir egonya oleh reportase kritisnya.

Tapi dia juga dekat dengan orang-orang penting negeri ini, tanpa harus menjadi corongnya. Dia pun marah ketika sejawatnya memesrai terlalu dalam pihak yang menyembunyikan kebenaran dari publik atau memoles sesuatu yang bopeng menjadi terlihat elok.

Dan ketika benteng kekuasaan terlalu tebal untuk disentil kritiknya, dia memilih strategi lain, diantaranya menulis memoar hingga muncul istilah spesialis memoar. Predikat ini mengerikan, karena kapasitas Pak Ros jauh lebih luas dari itu.

Kebanyakan tulisannya acap memberi ruang kepada publik untuk berpendapat. Tak menghakimi, tak pula bersetuju. Wartawan bukan hakim, bukan pula staf humas.

Dalam soal kedekatannya dengan bangsanya, seperti Des Alwi, Pak Ros hampir selalu ada di peristiwa-peristiwa penting bangsa ini, bahkan sebelum Republik ini berdiri. Tak heran dia tahu perjalanan bangsanya.

Dan seperti wanti-wanti Arthur Zich dari National Geographic kepada jurnalis untuk jangan sekali-kali menggambarkan negatif bangsa sendiri, Pak Ros juga kerap begitu.

Di balik nada keras tulisannya, tersimpan optimisme atas masa depan bangsanya. Tapi orang-orang berkuasa selalu melihat dari sudut lain. Mereka selalu ingin wartawan menjadi staf humas-nya, sehingga kritik dari orang-orang seperti Pak Ros disebut provokasi atau bahkan melecehkan.

Pak Ros juga mengajarkan jurnalisme independen yang lebih dari setengah abad dia ingin tegakkan, bahkan di masa kini di mana korporatisme membuat media massa keranjingan sensasi dan terserang epidemi kooptasi.

Yang mengejutkan dari Pak Ros adalah pikirannya tetap bening dan tajam dalam mencerna peristiwa.  Bagai fisikawan Stephen Hawking yang tetap cemerlang kendati raganya lumpuh total, memori dan ketajaman berpikir Pak Ros tak luntur oleh usia.

Tak ada gelar di kiri kanan nama Rosihan Anwar, kecuali "haji" dan "doktor honoris causa", tapi Pak Ros jelas seorang intelek, seorang mahaguru, bahkan mungkin juga seorang munsyi.

Dia gaib dari dunia, tapi namanya akan abadi, seperti Pulitzer, seperti Capa.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011