Selamat jalan Franky, meskipun engkau telah tiada tapi karya-karyamu tetap abadi dan menemani kita"
Palu (ANTARA News) - Empat tahun lalu, tepatnya 21 April 2007, penyanyi balada yang juga musisi kenamaan Franky Sahilatua menginjakkan kakinya di Palu, Sulawesi Tengah, dalam rangka memperingati Hari Bumi se-Dunia.

Di situ, selama dua hari Franky mengampanyekan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi berikutnya.

Malam harinya, dia membawakan sejumlah lagu bersama musisi kota Palu di Taman GOR.  Waktu itu, dia terlihat padu dengan sejumlah musisi meski hanya berlatih beberapa menit saja.

Dia tampil secara akustik, dan ratusan penonton tetap saja antusias menyambutnya.

Musisi yang terakhir merilis album "Aku Mau Presiden Baru" pada 2007 ini mengaku nyaman di Palu, namun dia sempat mengkritik jalan yang melintasi perbukitan yang dinilainya merusak lingkungan.

"Sulap apa lagi ini," kata Franky disambut tawa sejumlah tokoh saat berdialog dengannya.

Lalu, saat berbincang dengan sejumlah wartawan di Palu, musisi bernama lengkap Franklin Hubert Sahilatua ini mengungkapkan alasan tema alam dalam musiknya.  Dia katakan itu "gawan bayi" atau pembawaan sejak lahir.

"Sejak kecil saya selalu tertarik bermusik dengan tema alam dan lingkungan," kata musisi yang syair-syairnya berisi kritik sosial itu.

Musisi kritis kelahiran Surabaya, 16 Agustus 1953 itu menuturkan, melindungi dan melestarikan alam adalah tanggung jawab umat manusia meski yang merusak alam adalah segelitir manusia saja.

Di Palu itu dia berbicara banyak soal lingkungan.  Dia berkata, "Kerusakan alam Indonesia yang parah ini juga tanggung jawab kita semua supaya tidak menjadi lebih parah."

Keteledoran manusia dalam mengelola alam, sebutnya, adalah sumber bencana yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

"Kalau mereka tidak teledor niscaya alam kita akan asri dan dapat terus dinikmati sampai anak cucu kita," kata pelantun lagu "Perahu Retak" dan pencipta lagu "Kemeseraan" itu.

Musisi yang juga aktif mengkampanyekan perlindungan buruh itu terus berbicara soal perlindungan lingkungan.  Kali ini dia menunjuk pembalakan liar dan pemanfaatan alam tanpa mempedulikan keselamatan lingkungan.  Dia menyebut kedua soal itu menjadi penyebab utama bencana alam.

"Banjir lumpur, tanah longsor, kebakaran hutan merupakan efek dari keserakahan manusia yang tidak memperhatikan keselamatan alam," katanya.

Dia mengajak bangsanya untuk terus berjuang melestarikan alam.  "Kita juga harus kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai berdampak menimbulkan kerusakan alam," katanya.

Kalimat-kalimat itu mungkin masih dikenang warga Palu saat melihat Franky tampil langsung di hadapan mereka.

Sejumlah musisi Palu menganggap Franky sebagai panutan sehingga pantas ditiru.

"Tingkahnya sopan, tutur katanya menyejukkan, dan karyanya tak lekang ditelan waktu," kata Akbar, musisi jalanan di kota itu.

Franky lalu menyempatkan diri berjalan-jalan mengelilingi kota. Lalu keluarlah pengakuan darinya soal kota Palu.  Kota ini indah dan memiliki budaya yang unik, katanya.

Kota yang diapit pegunungan dan laut itu memang berpemandangan amat indah, hampir tak ada tandingannya.

Franky pun menikmati kota ini.

Penyanyi yang memulai ketenarannya setelah berduet dengan sang adik, Jane, pada 1970-an dan 1980-an ini sempat menikmati sejumlah masakan tradisional kota Palu seperti kaledo dan sop tulang kaki sapi.

20 April lalu, Franky meninggal dunia karena kanker sunsum tulang. Sejak beberapa tahun lalu dia sebenarnya menderita penyakit itu.

Penyanyi yang  sempat berduet bersama musisi besar lainnya, Iwan Fals, ini juga sempat dirawat di sejumlah rumah sakit sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Hari ini, jenazah Franky dimakamkan di TPU Tanah Kusir.

Dan Akbar si musisi jalanan itu berdoa, "Selamat jalan Franky, meskipun engkau telah tiada tapi karya-karyamu tetap abadi dan menemani kita."

R026/Z002

Oleh R. Maruto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011