Bersiap diri

Bayangkan bagaimana keadaan umat manusia 103 tahun silam? Tak ada televisi yang baru ditemukan sembilan tahun kemudian pada 1927, pun koran masih sangat terbatas, apalagi internet dan media sosial yang baru ada puluhan tahun kemudian.

Bayangkan pula bagaimana dokter, perawat, pakar kesehatan, dan pemerintah-pemerintah saat itu mengabarkan pandemi flu Spanyol kepada masyarakat.

Baca juga: Pria India dari Afsel positif COVID, belum pasti terinfeksi Omicron

Pasti tak secepat, tak seaktual dan tak sekomprehensif era penuh internet, serba digital dan segalanya media sosial seperti saat ini.

Oleh karena itu tak berlebihan jika jumlah korban meninggal dunia akibat flu Spanyol disebut bisa mencapai 100-an juta orang. Ini lebih karena umat manusia saat itu tak bersiap menghadapi pandemi karena informasi yang minim akhirnya meniadakan kesadaran mengenai adanya pandemi flu Spanyol.

Bandingkan dengan era ini di mana pandemi COVID-19 "hanya" menulari 261 juta orang di seluruh dunia (4,26 juta kasus di antaranya di Indonesia). Angka ini cuma separuh dari jumlah manusia yang tertular flu Spanyol. Dan hanya 3 persen dari total penduduk dunia saat ini yang mencapai 7,7 miliar.

Korban mati akibat COVID-19 pun terbilang "sedikit" dibandingkan dengan jumlah korban tewas akibat flu Spanyol. "Hanya" 5,2 juta orang (144 ribu di antaranya di Indonesia) atau 0,06 persen dari total penduduk Bumi saat ini.

Ini karena umat manusia era sekarang sudah bersiap jauh sebelum pandemi memorakporandakan dunia seperti dilakukan flu Spanyol. Sejumlah kalangan bahkan mengajak dunia bersiap diri dengan membuat pemodelan skala penularan dan kematian akibat COVID-19, seperti dilakukan Imperial College London di Inggris.

Pada akhir Maret 2020, atau lebih dari 1,5 tahun lalu, Imperial College London membuat skenario-skenario kasus COVID-19 berdasarkan pemodelan komputer.

Salah satu skenario itu adalah seandainya pandemi COVID-19 dibiarkan tanpa intervensi manusia untuk membendungnya, maka 7 miliar orang akan terinfeksi dan 40 juta orang mati sepanjang 2020 saja.

Sebaliknya, jika umat manusia mengintervensinya dengan mengambil langkah-langkah guna membendung pandemi COVID-19, mulai dengan mengenakan masker dan menjaga jarak sosial sampai disuntik vaksin, maka jumlah yang terinfeksi dan kematian, jauh lebih kecil sampai mendekati fakta di lapangan yang terjadi saat ini.

Memang hanya pemodelan, tapi dipungkiri lagi umat manusia menjadi waspada, paling tidak pemimpin dan pemerintahnya. Buktinya sejumlah negara menerapkan lockdown yang bahkan amat keras, mewajibkan masker, dan mengeluarkan undang-undang yang melarang berkerumun di ruang publik.

Oleh karena itu, menjadi semakin tahu akibat publikasi 24 jam rekomendasi dan temuan ilmiah berkaitan COVID-19 tersebut, membuat manusia sejagat menjadi lebih peduli dan lebih bersiap.

Inilah mungkin perbedaan besar antara pandemi flu Spanyol dan pandemi COVID-19.

Memang tak perlu berlebihan dan apalagi harus paranoid, tapi salah besar jika menyepelekan temuan dan rekomendasi ilmiah serta peringatan komunitas kesehatan yang tengah mengangkat varian Omicron.

Ya, media sosial atau bahkan media massa bisa mengabarkan hoaks, namun jauh lebih banyak lagi media yang mengabarkan hal-hal yang harus dan pantas diketahui manusia agar selalu awas dan selalu bersiap menghadapi keadaan dan kemungkinan terburuk, baik saat ini maupun nanti.

Faktanya bersiap diri sering membuat keadaan terburuk malah menjadi tidak terjadi.


Baca juga: IPA minta imunisasi rutin anak didahulukan sebelum vaksinasi COVID-19

Baca juga: Filipina luncurkan program vaksinasi 9 juta orang dalam 3 hari

Baca juga: Kemenkes: Waspadai gelombang ketiga saat Natal-Tahun Baru

Copyright © ANTARA 2021