Jakarta (ANTARA News) -  "Kolaborasi membuat pustakawan terlihat nyata di dunia maya." Begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan Puspa Yeow, President Library Association of Singapore (LAS) saat menutup seminar sehari bertajuk "Library for Tomorrow" pertengahan April 2011 di Singapura.

Dengan berkolaborasi, segala sesuatu menjadi aktual, global, serentak dan interaktif.

Di antara aplikasi yang mutlak dibutuhkan untuk menyongsong perpustakaan masa depan, maka elemen terpenting adalah kolaborasi. Kolaborasilah yang membuat pustakawan menjadi terlihat.

Kolaborari, mengutip CIFOR/PILI 2005, adalah bentuk kerjasama, interaksi dan kompromi beberapa elemen yang terkait individu, lembaga dan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat.

Nilai-nilai yang mendasari kolaborasi adalah kesamaan tujuan dan persepsi, kemauan berproses, saling memberi manfaat, kejujuran, kasih sayang dan berbasis masyarakat.

Dalam satu wawancara di Jakarta beberapa waktu lalu, Presiden Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) Harkrisyati Kamil, menyatakan sangat mendukung kolaborasi itu.

"Bagi saya kolaborasi sangat penting karena dengan melakukan segalanya bersama, gaungnya akan lebih terdengar dan mampu membentuk kekuatan dibandingkan dengan berjalan sendiri-sendiri," kata mantan kepala Perpustakaan British Council Jakarta itu.

Harkrisyati melanjutkan, "Sama seperti halnya partai, apapun bendera yang diusungnya, saya pikir pustakawan perlu bersatu untuk meningkatkan kepustakawanan Indonesia."

Ia menekankan bahwa kolaborasi tidak hanya sebatas wacana dan aksi sekejap yang kemudian hening, melainkan kolaborasi yang mampu memberikan sumbangan nyata kepada bangsa ini.

Harkrisyati yang lagi menjabat Ketua III Ikatan Sarjana Perpustakaan Indonesia (IPI) ini mengharapkan sosok pustakawan muda yang mampu mempelopori kolaborasi yang utuh dan murni tanpa agenda tersembunyi.

Dia tak memungkiri pesatnya perkembangan teknologi informasi yang disebutnya menjadi bagian penting pengelolaan perpustakaan, antara lain membantu memudahkan akses dan menjadi sarana berjejaring.

Senafas dengan Harkrisyati, pemerhati kepustakawanan Indonesia, Blasius Sudarsono menilai pustakawan memang seharusnya tampil di dunia virtual.  "Bukan sekedar ada atau terlihat namun meng-ada," sambungnya.

Menurut Blasius, dalam kolaborasi ada kesepakatan untuk memiliki sasaran yang sama dengan mengeluarkan kemampuan terbaik peserta walaupun mungkin para peserta memiliki tujuan sampingan (by product) yang berbeda.

Mantan kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - LIPI itu berpendapat, pustakawan Indonesia cenderung tampil solo. Kalaupun harus berkelompok, maka kelompoknya itulah yang tampil.

"Kadangkala kita cenderung menjadi pemain tunggal dan agak lemah untuk membuat tim dan rata-rata kita lebih gemar tampil di kandang sendiri dibanding merangkai kekuatan secara bersama-sama," ujarnya.

Mengenai maraknya berbagai aplikasi perpustakaan, Blasius memandangnya perlu ditinjau ulang, karena perlu mempertimbangkan insentifnya (return) bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia.

"Seringkali investasi yang besar tidak membawa return sesuai dengan harapan," kata Blasius.

Budaya berbagi pengetahuan

Kolaborasi seperti dituturkan Puspa Yeow di atas tercipta lewat berbagai kegiatan yang mempertemukan pustakawan, profesional informasi, pengajar, pengelola pengetahuan (knowledge manager), pendidik perpustakaan (library educator), dan penyedia perpustakaan, demi menyongsong perpustakaan masa depan.

Dalam konteks itulah seminar perpustakaan masa depan yang diadakan LAS itu diselenggarkana.  Praktisnya, seminar ini beupaya mengulang sukses kegiatan serupa dua tahun lalu yang menurut Yeow berhasil.

Kegiatan ini sendiri menjadi ajang pertemuan insan-insan perpustakaan dan secara bersamaan mencipta jejaring dengan para sponsor dan vendor.

Seminar di Singapura itu sendiri berhasil menggaet sponsor ProQuest, IGroup, LexisNexis, serta mendapat dukungan dari 3M dan Swets yang bergerak di lini bisnis jasa pengelolaan pelanggan dunia informasi.

Selain itu diramaikan juga oleh para peserta pameran terkenal, seperti ExLibris, Infogroup/Onesource, SirsiDynix, dan Wanfang Data.

320 peserta dari anggota asosiasi perpustakaan Singapura dan  eksekutif informasi dari Australia, Malaysia, Indonesia dan beberapa negara di Asia lain turut menghadiri acara besar ini.

Seminar menghadirkan 10 materi besar dan menghadirkan 11 presentasi singkat berdurasi lima menit yang disebut dalam istilah "quickfire presentation".  Seluruh kegiatan terlihat terburu-buru dan tidak punya cukup waktu untuk mengunjungi stand pameran.

Pada sesi keempat hadir pembicara dari Universitas Gajah Mada, Ida Fajar Priyanto. Bersama Lilik Kurniawati Uswah, dia melakukan penelitian "Going Green in Technical Services: a Study in Paperless Office Management."

Materi-materi yang disampaikan narasumber terbagi menjadi empat tema besar, yakni mobile future (masa depan mobile), hunting and gathering in the e-library (pencarian dan pengumpulan data dalam perpustakaan digital), the future of digital repositories (masa depan repositori digital), dan quality improvement (peningkatan kualitas).

Seorang peserta dari Indonesia, Rini Utami Pramono, M.Si yang adalah Knowledge Management Manager dari Universitas Paramadina, menyampaikan penilaian menarik mengenai seminar itu.

Rini menyebut kegiatan semacam ini dapat membuka cakrawala wawasan dan patut ditiru. "Seminar ini membuka wawasan saya tentang beberapa aplikasi pelayanan dan database untuk perpustakaan," katanya.

Magister Teknik Lingkungan, Universitas Indonesia, itu melihat perkembangan apliaksi terbaru patut dicermati karena semuanya bertujuan mengorganisasi pengetahuan dan mempermudah akses, kapan pun dan di mana pun.

"Bisa dibayangkan bila seluruh perpustakaan di dunia dapat berkolaborasi, tentu akan mudah bagi kita untuk melakukan sharing (berbagi) pengetahuan maupun untuk mendapatkan pengetahuan terkini dari seluruh belahan bumi," kata Rini.

Rini melontarkan semacam otokritik tentang masalah kolaborasi di Indonesia.  Dia menilai budaya berbagi pengetahuan di dalam negeri harus dikuatkan terlebih dahulu, karena Indonesia masih terlihat individual.

"Tapi saya optimistis saat ini sudah banyak lembaga yang memahami betapa pengetahuan adalah asset yang paling berharga, Universitas Paramadina sudah memulainya," demikian Rini setengah berpromosi.(*)

A025

Oleh Dyah Sulistyorini
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011