Pengembangan industri hijau telah menjadi perhatian dan amanah yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Kementerian Perindustrian
Jakarta (ANTARA) - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) akan menjadi dasar bagi pemerintah menetapkan insentif untuk perusahaan yang telah menerapkan industri hijau dalam proses bisnisnya.

"Perpres NEK tentu menjadi bagian dan dasar bagi pemerintah untuk menetapkan insentif, untuk menerapkan standar dari emisi karbon di masing-masing subsektor, bahkan di masing-masing produk," ujar Menperin di Jakarta, Selasa.

Menperin memaparkan kurangnya insentif fiskal dan nonfiskal menjadi salah satu tantangan dalam mendukung pengembangan industri hijau di Indonesia.

Untuk itu, Kemenperin akan merumuskan insentif industri hijau sebagai upaya mendukung komitmen Indonesia terhadap konservasi lingkungan dan mitigasi perubahan iklim dunia pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB Conference of the Parties (COP) Ke-26 di Glasgow, Skotlandia.

Menurut Agus, komitmen Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia 2030 adalah bukti keseriusan dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata melalui kebijakan, pemberdayaan, dan penegakan hukum; pemutakhiran NDCs untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim; dan memperkuat kemitraan global.

"Sebagai bagian dari ini, pengembangan industri hijau telah menjadi perhatian dan amanah yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Kementerian Perindustrian," tukas Menperin.

Pada kesempatan itu, Menperin juga menyebut tantangan lain dalam mendukung pengembangan industri hijau di Indonesia, di antaranya industri hijau membutuhkan riset dan pengembangan (R&D) yang intensif dan dapat diaplikasikan secara multisektoral.

"Kekinian teknologi juga menjadi syarat utama yang dibutuhkan industri nasional. Ini masih sangat kurang, baik dari sisi SDM, maupun fasilitas riset," ujar Agus.

Kedua, Kemenperin melihat bahwa banyak industri masih menggunakan mesin yang berteknologi lama, yang cenderung tidak efisien, menghasilkan limbah atau polusi yang cukup tinggi.

Ketiga, perubahan ke peralatan atau alat fabrikasi yang hijau dan efisien membutuhkan biaya tinggi, sehingga menciptakan keengganan dari sisi industri untuk menambah belanja modal mereka ke permesinan yang dapat mendorong efisiensi dan pengembangan industri hijau.

Keempat, industri hijau membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi dan berpengalaman, yang dinilai masih kurang.

"Learning dan experience sharing masih kurang, sehingga tingkat kompetensi belum dapat mengikuti kemajuan green technology dalam sektor manufaktur," ujar Menperin.

Namun demikian, meski dihadapkan sekian tantangan yang tidak ringan tersebut, Menperin menangkap gairah dan semangat yang tinggi dari para pelaku industri untuk menghadirkan industri yang lebih bertanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan kelestarian alam.

"Kami di Kementerian Perindustrian sangat menyambut baik serta selalu siap memberikan pendampingan terhadap setiap inisiatif dan upaya para pelaku industri untuk merealisasikan komitmen green and sustainable industries," pungkas Agus.

Baca juga: Menperin: Perusahaan semakin sadar pentingnya penerapan industri hijau
Baca juga: Kemenperin gali potensi kerja sama industri makanan minuman RI-Taiwan
Baca juga: Kemenperin tempa SDM industri agar berwawasan lingkungan


Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021