Samarinda (ANTARA News) - Proyek jalan bebas hambatan (tol) sepanjang 99 kilometer yang melintasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto dan Hutan Lindung Sungai Manggar (HLSM), berdampak terhadap laju degradasi dan deforestasi kedua kawasan konservasi rakyat tersebut.

Kepala Divisi Kampanye dan Pendidikan Publik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur, Nur Is Jumarno, Minggu, mengatakan, mega proyek tol yang menghubungkan Kota Samarinda dengan Balikpapan, itu akan mengkorbankan areal Tahura Bukit Soeharto 24 kilometer serta delapan kilometer di kawasan HLSM.

"Proyek tol yang dicanangkan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, yang akan menghabiskan anggaran Rp6,3 triliun, itu membuat terdegradasinya kawasan Tahura Bukit Soeharto, sehingga semakin banyak ancaman eksploitasi sumberdaya alam seperti pertambangan batubara skala besar dan perkebunan kelapa sawit," paparnya.

Mega proyek jalan tol hanya bermanfaat bagi masyarakat kelas menengah ke atas, dan tidak menyentuh kepentingan rakyat bawah yang selama ini berdiam di sekitar Tahura Bukit Soeharto.

"Selain itu, cenderung merupakan bagian dari persiapan infrastruktur untuk pengangkutan produksi-produksi sumberdaya alam yang dieksploitasi seperti kelapa sawit dan tidak menutup kemungkinan batubara, sehingga kami menilai proyek ini tidak tepat sasaran, tetapi justru berpotensi terjadinya pemborosan keuangan negara," ucap Nur Is Jumarno.

Tahura Bukit Soeharto yang dilegalkan melalui SK Mentan No. 318/Kpts-Um/II/1982 sebagai Hutan Lindung (HL) seluas 27.000 hektare dan tata batas HL Bukit Soeharto pada November 1984 sampai Januari 1985 direalisasikan seluas 23.000 hektare.

Perubahan fungsi HL Bukit Soeharto seluas 23.800 hektare dan perluasannya (HP bekas ITCI) seluas 41.050 hektare menjadi Hutan Wisata (HW), sehingga luas keseluruhan mencapai 64.850 hektare.

Tata batas HW Bukit Soeharto pada November 1989 sampai Februari 1990 sepanjang 171,150 kilometer, namun mengalami penyusutan hingga 3.000 hektare untuk transmigrasi lokal di Kelurahan Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja berdasarkan SK Gubernur pada 1985, sehingga luas HW menjadi 61.850 hektare.

Penetapan Taman Hutan Wisata (TWA) Bukit Soeharto seluas 61.850 hektare itu akhirnya diperkuat melalui SK Menhut No.270/Kpts-II/1991 tanggal 20 Mei 1991 dan perubahan Fungsi TWA Bukit Soeharto menjadi Tahura Bukit Soeharto melalui keputusan Menhut No.419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, ungkap Kepala Divisi Kampanye dan Pendidikan Publik Walhi Kaltim itu.

Provinsi Kaltim, lanjut dia, memiliki luas daratan 19.884.117 hektare dan wilayah laut seluas 1.021.657 hektare.

Berdasarkan hasil padu serasi pada 1999, Kaltim memiliki kawasan budi daya non-kehutanan (KBNK) seluas 5.170.784,60 hektare, kawasan budi daya kehutanan (KBK) seluas 9.774.753,19 hektare, hutan lindung 2.816.319,73 hektare, cagar alam 1.478.367,79 hektare, taman hutan raya 71.099,80 hektare, Taman Nasional 204.399,06 hektare, hutan produksi 25.786,38 hektare.

Hamparan hutan yang didominasi oleh hutan `dipterocarpaseae`, yang saat ini sebagian besar telah mengalami degradasi. Dalam pengajuan revisi RTRW Kalimantan Timur, pemerintah daerah mengusulkan konversi Kawasan Budi daya Kehutanan (KBK) menjadi Kawasan Budi daya Non-kehutanan (KBNK) seluas 1,3 juta hektare.

Pengajuan konversi kawasan melalui revisi RTRWP yang dicanangkan pemerintah daerah hanya akan menguntungkan segelintir orang atau golongan tertentu dan mengesampingkan keselamatan atau kelestarian lingkungan dan hutan, katanya, menegaskan.

Selain itu konversi kawasan hutan semakin memperparah laju degradasi dan deforestasi hutan yang berdampak pula terhadap bencana alam seperti longsor dan banjir, karena tidak sedikit masyarakat kecil mengalami kerugian secara material akibat dari bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan dan degradasi hutan yang tinggi, akibat dari ego para pemimpin daerah.

"Begitupula dengan mega proyek jalan tol itu, justru kian mempercepat kerusakan hutan," ucap Nur Is Jumarno. (A053)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011