Pembiayaan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menopang usaha perikanan tangkap skala kecil
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Destructive Fishing Watch (DFW) menginginkan agar pemerintah termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat meningkatkan kredit usaha perikanan bagi usaha perikanan tangkap skala kecil seperti nelayan tradisional.

"(Peningkatan kredit usaha perikanan bagi nelayan kecil) ini mengingat jumlah dan komposisi perikanan skala kecil mencapai 99 persen dari total armada tangkap saat ini," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan, di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, usaha perikanan skala kecil sangat rentan terhadap fluktuasi hasil tangkapan, mutu, harga jual, musim dan perubahan iklim.

Selain rentan, lanjutnya, kelompok usaha ini mengalami pertumbuhan yang lambat dibanding subsektor lainnya seperti budidaya dan pengolahan hasil.

"Pembiayaan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menopang usaha perikanan tangkap skala kecil," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia itu.

Ia mengatakan serapan Kredit Usaha Rakyat pada semester pertama tahun 2021 masih sangat kecil, dari Rp 1,71 triliun KUR perikanan yang tersalurkan, hanya 21,5 persen yang diserap oleh usaha perikanan tangkap.

Selain KUR, menurut dia, pihaknya juga memberikan catatan terhadap penyaluran kredit oleh Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP).

"Dalam periode 2017-2019 dari Rp409 miliar kredit yang disalurkan, hanya Rp144 miliar atau 35 persen yang diserap oleh usaha perikanan tangkap," kata Abdi.

Ia mengemukakan bahwa penyaluran KUR dan kredit LPMUKP masih sangat kecil dibanding kebutuhan usaha, dan jumlah calon pemanfaat, padahal skema KUR dan LPMUKP merupakan harapan pelaku usaha tangkap skala kecil dalam mengakses kredit.

Pihaknya menyoroti proses dan mekanisme kredit LPMKUP yang lama dan prosedural. "Proses birokrasinya lama, pelaku usaha perikanan tangkap dampingan kami di Bitung sudah 13 bulan mengajukan pinjaman belum berhasil mendapatkan kredit LPMUKP," kata Abdi.

Peneliti DFW Indonesia, Muh Arifudin meminta KKP tidak meninggalkan dan memprioritaskan nelayan kecil dalam penyediaan dan akses kredit. "Dari 3 juta pelaku usaha perikanan, 60 persen dalam fase penumbuhan usaha, dan hanya 5 persen yang potensial mendapat kredit mikro dari BLU," kata Arif.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan penerapan sistem penangkapan ikan terukur bakal dapat meningkatkan kinerja perekonomian karena dapat mendorong perputaran uang hingga Rp281 triliun per tahun.

"Kebijakan penangkapan ikan terukur akan memiliki multiplier effect (efek pengganda) bagi pembangunan nasional, selain sebagai penopang ketahanan pangan. Perputaran uang mencapai Rp281 triliun per tahun melalui kebijakan penangkapan terukur dan akan menyerap tenaga kerja di sektor kelautan dan perikanan serta distribusi pertumbuhan daerah," kata Sakti Wahyu Trenggono.

Kebijakan penangkapan ikan terukur adalah pengendalian yang dilakukan dengan menerapkan sistem kuota kepada setiap pelaku usaha dan telah diterapkan di beberapa negara maju seperti Uni Eropa, Islandia, Kanada, Australia dan Selandia Baru.

Kebijakan penangkapan terukur akan memberikan batasan untuk area penangkapan ikan, jumlah ikan dengan memberlakukan sistem kuota melalui kontrak penangkapan untuk jangka waktu tertentu, musim penangkapan ikan, jenis alat tangkap, pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan/ pembongkaran ikan, suplai pasar domestik dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di Wilayah Pengelolaan Perikanan yang ditetapkan.

Baca juga: KKP: Penyaluran KUR sektor kelautan dan perikanan capai Rp1,71 triliun
Baca juga: Menteri Trenggono usulkan penurunan bunga KUR jadi 3 persen
Baca juga: Menteri Trenggono dorong milenial terjun di bisnis logistik perikanan

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021