Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropik & infeksi dari Universitas Andalas, dr. Hadianti Adlani, Sp.PD-KPTI menyebutkan sejumlah faktor risiko seseorang bisa terinfeksi HIV, salah satunya sering membuat tato atau tindik yang tidak steril.

"Setiap individu bisa terinfeksi HIV jika memiliki faktor-faktor yang berisiko tinggi untuk terinfeksi virus HIV, yaitu orang yang sering membuat tato atau melakukan tindik yang tidak steril," ujar dokter yang berpraktik di RS Pondok Indah – Bintaro Jaya itu kepada ANTARA, dikutip Kamis.

Baca juga: Kemenkes sebut varian Omicron berkaitan dengan infeksi HIV

Faktor risiko lainnya yakni melakukan hubungan seksual tanpa kondom baik hubungan sesama jenis ataupun berlainan jenis (seks bebas), terkena penyakit menular seksual, menggunakan narkotika suntik dan melakukan hubungan seksual dengan pengguna narkotika suntik.

Selain itu, hamil atau menyusui dalam kondisi terkena HIV yang menularkan pada janin atau bayinya, transfusi darah yang tercemar virus HIV serta berkontak dengan darah, air mania tau cairan vagina dari orang yang memiliki infeksi HIV pada luka terbuka yang Anda miliki contohnya pada perawat.

Hadianti menjelaskan, mereka yang terinfeksi HIV hidup dengan virus menyerang sistem imunitas tubuhnya sehingga menyebabkan kondisi AIDS.

"Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yakni seseorang yang terinfeksi HIV atau terkena AIDS atau orang yang hidup dengan virus yang menyerang sistem imunitas tubuh sehingga menyebabkan kondisi AIDS atau sindrom akibat menurunnya sistem imunitas tubuh," jelas dia.

Lalu, mereka yang akhirnya dinyatakan terkena AIDS (HIV positif) ketika menunjukkan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat dari penurunan daya tahan tubuh disebabkan oleh HIV atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 kurang dari 200 mm3.

Mereka yang terkena HIV-AIDS atau disebut ODHA (orang dengan HIV-AIDS) membutuhkan pengobatan dan tidak perlu berhenti meskipun pada masa pandemi COVID-19.

Baca juga: Infeksi baru HIV 2020 lebih rendah 47 persen dibanding 2010

"Secara prinsip, obat tidak perlu berhenti, meski SARS-CoV2 bukan merupakan infeksi oportunistik untuk HIV, tetapi tetap perlu dicegah untuk terjadi penularan," kata Hadianti.

Menurut dia, dokter bisa berkomunikasi dengan pasien, memberikan edukasi cara, dan kebijakan dari rumah sakit, memikirkan metode untuk mengurangi frekuensi ke rumah sakit, dan lamanya waktu tunggu dan layanan di rumah sakit.

Contohnya layanan telemedisin, melakukan terapi segera terutama pada stadium 1 dan II, semua dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang berlaku di masa pandemi.

Hadianti mengatakan, beberapa layanan memang terdampak pandemi seperti konseling, pelayanan tes HIV, pemberian terapi antiretroviral, pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA), TB-HIV, pendampingan, layanan laboratorium, dan radiologi.

Tetapi, layanan tetap diberikan dengan memenuhi standar protokol kesehatan COVID-19 dengan mengantisipasi berbagai hal untuk menghindari transmisi SARS CoV-2, aman dan nyaman, sesuai standar protokol kesehatan yang sudah berlaku.

Pihak rumah sakit mencari dan melakukan berbagai solusi yang ditemukan dari permasalahan yang ditemukan selama pandemi berlangsung seperti pendaftaran secara online, pengambilan obat per bulan dijadikan per 2-3 bulan sesuai dengan status imunnya.

"Stok obat tetap terjaga ketersediannya, pelayanan laboratorium yang banyak tutup diupayakan untuk tetap bekerjasama dengan laboratorium lain yang masih melayani," papar Hadianti.

"Setiap layanan standar yang dibutuhkan oleh pasien tersedia di RS Pondok Indah Group, jika belum tersedia karena beberapa program HIV adalah program pemerintah seperti penyediaan obat-obatan, maka sudah dilakukan kerjasama sebagai rumah sakit satelit," demikian kata dia.


Baca juga: Keampuhan vaksin HIV pertama mulai diuji di Afrika Selatan

Baca juga: Sebelum menikah, cek dulu kesehatan

Baca juga: Risiko ODHA terkena COVID-19 sama seperti yang orang umumnya

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021